JUDUL BUKU: Janji-Janji & Komitmen SBY-JK (Ed.2), Ternyata Hanya Angin? PENULIS: Rudy S. Pontoh, PENERBIT: Boki Cipta Media, Jakarta, PERANCANG SAMPUL: Ledi Raja, EDISI: Edisi Kedua, ISBN: 978-979-17267-0-2, TEBAL: xxvii + 214 halaman, HARGA: Rp 58 ribu, DISTRIBUTOR: Boki Cipta Distributor Kini Buku Tersebut Bisa Anda Dapakan di Semua Toko Buku Terkemuka di Indonesia. Buruan, Jangan sampai kehabisan!!
Anda juga dapat memesannya secara langsung. Untuk informasi hubungi Boki Cipta Media:
Email: bokicipta@gmail.com
Fax: 021-7199660 SMS: 0813 83067264
DOWNLOAD EBOOK
Nonton Dulu Videonya !
Selasa, 08 Januari 2008
Beragam Testimoni & Komentar untuk Buku Janji-janji & Komitmen SBY-JK edisi 2
“Yang saya soroti dari buku ini adalah janji SBY untuk membangun demokrasi melalui kebijakan antidiskriminasi. Akan tetapi, di masa SBY, kebijakan yang diskriminatif dan antipluralisme sangat menonjol, khususnya dalam bidang agama. Terutama terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas. Indikator: Pengabaian hak-hak sipil para penghayat kepercayaan, penyerangan terhadap Ahmadiyah, penutupan gereja-gereja Kristen, dan penangkapan para pimpinan aliran-aliran baru: Lia Eden, Al-Qiyadah, dan lain-lain. Akibatnya, timbul konflik horisontal: kelompok mayoritas menyerang minoritas dengan dalih fatwa MUI.
Sepanjang sejarah RI, baru SBY presiden yang tunduk pada fatwa MUI. Padahal, fatwa MUI tidak punya tempat dalam struktur hukum di Indonesia. Mestinya dia hanya berpedoman pada Pancasila dan UUD ‘45 yang menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan kepercayaan masing-masing. “
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A
Jakarta
“Walau saya pernah dekat dan bekerja sama – namun saya tidak pernah bisa menebak, membaca, dan memprediksi apa yang ada dalam benak dan apa yang akan dilakukan seorang SBY. Yang dapat saya pastikan, menurut pendapat pribadi saya, bahwa SBY adalah seorang politisi ulung, tangguh, dan sabar. Beliau pandai memainkan manajemen waktu, lihai mengatur emosi kawan maupun lawan, dan amat cerdas menggiring atmosfir di setiap tempat dan komunitas. Beliau juga sangat tangkas menjadikan dirinya sebagai magnet dalam seketika. Dalam keadaan serba normal, beliau memang pas dan pantas menjadi presiden bagi negeri ini. “
Sepanjang sejarah RI, baru SBY presiden yang tunduk pada fatwa MUI. Padahal, fatwa MUI tidak punya tempat dalam struktur hukum di Indonesia. Mestinya dia hanya berpedoman pada Pancasila dan UUD ‘45 yang menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan kepercayaan masing-masing. “
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A
Jakarta
“Walau saya pernah dekat dan bekerja sama – namun saya tidak pernah bisa menebak, membaca, dan memprediksi apa yang ada dalam benak dan apa yang akan dilakukan seorang SBY. Yang dapat saya pastikan, menurut pendapat pribadi saya, bahwa SBY adalah seorang politisi ulung, tangguh, dan sabar. Beliau pandai memainkan manajemen waktu, lihai mengatur emosi kawan maupun lawan, dan amat cerdas menggiring atmosfir di setiap tempat dan komunitas. Beliau juga sangat tangkas menjadikan dirinya sebagai magnet dalam seketika. Dalam keadaan serba normal, beliau memang pas dan pantas menjadi presiden bagi negeri ini. “
Sys NS
Ketua Umum DPP Partai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Jakarta
“Kritik Rudy S. Pontoh dalam buku ini memperjelas kita bahwa kritik bukan saja sebuah keinginan dari warganegara untuk bebas bicara, tapi juga sebuah kebutuhan dari pemerintah negara agar berbuat lebih baik.”
Usman Hamid
Koordinator Kontras
Menteng, Jakarta Pusat
“Adanya hasrat dari kalangan SBY-JK untuk berpaket kembali atau pun secara terpisah menunjukkan keyakinan bahwa janji-janji dan komitmen mereka seperti yang saya baca dalam buku ini rasanya telah ditebus secara perlahan. Proses demokratisasi, desentralisasi, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat relatif baik dan terbebas dari IMF. Pemberantasan korupsi belum memuaskan masih bertumpu pada penguatan institusional. Yang menonjol adalah pelaksanaan demokrasi di Indonesia jauh lebih baik dari Singapura dan Malaysia. Kabinet ekonominya belum “menggigit” menangani makroekonomi.”
Prof. Dr. Amran Razak, SE, M.Sc
Guru Besar FKM Universitas Hasanuddin
Makassar
“Seseorang yang tidak mampu menepati janji tidak layak jadi pemimpin. Secara pribadi, saya masih ingin percaya dan berharap pada SBY. Tapi hampir semua seniman dari berbagai propinsi yang hadir di Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua Agustus 2005 lalu menganggap SBY pembohong / tidak bisa memegang kata-kata.
Pada penutupan kongres dimaksud SBY berjanji membangun kesenian Indonesia dengan sungguh – sungguh, salah satunya dengan mensahkan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) sebagai keputusan kongres. Dua setengah tahun Tim Formatur DKI melakukan berbagai cara menagih janji, NIHIL. Kalau janji resmi dan ditayangkan TVRI ke seluruh negeri saja tidak ditepati…sekarang silahkan rakyat menilai. Sebab dalam hal tidak kunjung disahkannya DKI, SBY hanya memberi kita dua pilihan kemungkinan: SBY tidak mampu atau SBY tidak bisa dipegang kata-katanya. Dua-duanya tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.”
Ratna Sarumpaet
Aktivis dan Seniman
Jakarta
“Agar diungkapkan juga mengenai apa yang tidak/belum pernah dijanjikan SBY-JK kepada rakyat. Kadang pemimpin sering melupakan apa yang dijanjikan dan membuat janji-janji baru untuk mempertahankan kepemimpinannya. “
M. Farhat Abbas, SH
Basmar, Mampang
Jakarta Selatan
“Buku ini mudah-mudahan jadi pelajaran moral nomor satu bagi siapa saja yang mengaku pemimpin atau siapa saja yang mau terjun ke dunia politik. Negeri ini tidak butuh janji, tapi kerja nyata yang dikawal oleh visi dan moralitas sejati.”
Ahmad Ushtuchri, SE
Pimpinan Pondok Pesantren Annur
Kota Bekasi
“Membaca buku ini saya merasakan pancaran ketulusan dari Bapak SBY. Janji-janji beliau memberikan optimisme yang besar. “
Prof. Dr. Maizar Rahman
Gubernur OPEC
Peneliti Utama Teknologi Minyak & Gas
“Kita semua sepakat janji adalah hutang. Sampai kapan pun dan oleh siapapun hutang akan tertagih. Kalau sudah terlontar sebaiknya ditepati supaya selamat nanti di “sana”. “
Ratih Sanggarwati
Jakarta
“Buku ini sangat dibutuhkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, yang telah dengan ikhlas menjatuhkan pilihannya kepada pasangan SBY-JK. Jika ke depan, untuk periode 2009-2014 pasangan SBY-JK masih ingin terpilih lagi, masih ada sisa waktu untuk membuktikan implementasi janji dan komitmennya terhadapat rakyat. Di era globalisasi, bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang berjuang membawa perubahan positif bagi rakyat, bangsa dan negara, dalam menggapai cita-cita Indonesia sebagai negara yang maju dan sejajar, serta disegani oleh bangsa-bangsa di dunia dalam percaturan internasional. “
Dr. Taruna Ikrar, M.Pharm., Ph.D
Founder CFIS (Center For Interregional Study)
Jepang
“Buku ini telah memberikan kontribusi berharga karena sudah melayani kepentingan masyarakat untuk memantau mereka yang berkuasa (SBY-JK) agar bertanggung jawab pada setiap perilaku, keputusan, dan kebijakannya. “
Josephine Mathilda
Aktivis Persaudaraan Poso
Palu, Sulteng
“Buku ini cukup mewakili tuntutan masyarakat Indonesia yang sangat mengharapkan realisasi terhadap mimpi-mimpi yang diberikan para pemimpin bangsa ini ketika mereka menginginkan dukungan untuk menduduki tahta kekuasaan di negara ini.
Janji-janji yang diumbar pada saat Pemilu 2004 lalu seharusnya sudah dapat kita rasakan sekarang. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana keadaan semakin menuju ke jurang kesengsaraan baik dari sudut moralitas, integritas serta kehidupan perekonomian. Dengan kehadiran buku ini diharapkan SBY-JK menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini adalah realisasi terhadap setiap komitmen yang mereka buat.”
Janji-janji yang diumbar pada saat Pemilu 2004 lalu seharusnya sudah dapat kita rasakan sekarang. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana keadaan semakin menuju ke jurang kesengsaraan baik dari sudut moralitas, integritas serta kehidupan perekonomian. Dengan kehadiran buku ini diharapkan SBY-JK menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini adalah realisasi terhadap setiap komitmen yang mereka buat.”
Vera T. Tobing, SH
Kantor Pengacara Vera Tobing & Patners
Jakarta
“Buku ini telah merekam semua janji SBY-JK pada masa kampanye dulu dengan sangat lengkap dan jelas. Dan saya yakin SBY-JK akan terus berusaha menepati janji-janjinya. Hanya soal waktu. Kita lihat saja nanti.”
Muhammad Ikbal, SH
General Manager PT BBS
Jakarta & Kendari
“Saya yakin buku ini menarik dan berguna untuk banyak orang. Namun saya tidak merasa mampu untuk menulis komentar.”
Wimar Witoelar
PT InterMatrix Indonesia
Jakarta Selatan
“Buku ini adalah wujud upaya cerdas guna mencerdaskan anak bangsa. Keberadaannya jelas memberikan efek positif pembelajaran. Jika suatu saat nanti politisi ini hendak kembali naik ke podium kampanyenya, maka setidaknya ia akan berpikir ulang untuk tidak mengumbar janji-janji politik secara sembarangan. Sebab, sekarang ia tahu ucapannya tersebut tidak lagi terbang bersama angin tapi dicetakbukukan menanti pertanggungjawaban dalam bentuk nyata.
Buku ini akan menjadi sumber rujukan bagi kita untuk mengkritisi sudah sejauh mana janji-janji tersebut terwujudkan. Semoga SBY-JK atau mungkin para politisi lain di pentas daerah atau nasional menjadikan ini sebagai barometer.”
Mohammad Aqil Ali, SH
HWS & Partners
Wisma Kemang, Jakarta Selatan
“Penyebaran ide dan gagasan dalam buku ini sangat perlu diketahui khalayak umum, terutama kalangan pendidikan dan aktivis serta kalangan HAM, bahkan untuk kajian kajian hukum lebih dalam.”
Dedeng Z
Staf Pengajar Fak. Hukum UNSRI
Ogan Ilir, Sumsel
“Lebih baik saya tidak mengomentari buku ini karena apapun komentar saya justru akan dipermasalahkan orang. Biarlah kawan-kawan pengamat yang berkomentar.”
Andi Alfian Malarangeng
Juru Bicara Presiden RI
Jakarta
“Para politisi itu mengekploitasi kaum miskin, menjajikan perubahan dan kesejahteraan, padahal rakyat sudah mencatatnya. Berulangkali ingkar janji, ada saatnya melawan dan menagih bakul berisi janji-janji itu.”
Mulyani Hasan
Penulis dan Wartawan
Bandung
“Semoga buku ini tersedia banyak di toko buku manapun dan dijual dengan harga terjangkau sehingga semua orang bisa memilikinya hingga ke masyarakat kalangan menengah ke bawah. “
Yudan S
Perum Graha Sengkaling
Dau – Malang, Jawa Timur
“Setelah membaca buku ini saya berpendapat: yang terpenting adalah janji-janji dan komitmen itu dapat terlaksana secara komprehensif, bertahap, kontinyu, terpadu & terukur demi mencapai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ideal.”
Zikroen Habibie
Jakarta
Biodata Penulis Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK
RUDY S.PONTOH. Lahir di Poso, Sulawesi Tengah, 18 Mei 1964. Kuliah di FK - Unhas (1983-1992) lalu terjun sebagai wiraswasta. Pernah menjabat sebagai salah seorang direksi sebuah perusahaan properti terkemuka di Yogyakarta, lalu sejak 1994 pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta terkenal.
Antara tahun 1983 hingga 1986 ia aktif menulis masalah hukum dan internasional, dua bidang kepenulisan yang paling diminatinya. Juga masalah psikologi dan kesehatan (sesuai latar belakang pendidikanya) di berbagai media cetak Ibukota. Di bidang hukum, ia pernah berpolemik keras dan berkepanjangan dengan Achmad Ali (kini salah seorang tokoh hukum di Indonesia). Pada masa itu, ia juga tergolong penulis aktif angkatan kedua setelah angkatan Hamid Awaluddin (mantan Menteri Hukum dan HAM) di Identitas, koran kampus Universitas Hasanuddin Makassar. Keaktifannya menulis di berbagai media membuat ia kemudian diangkat sebuah Ketua FPM (Forum Penulis Makassar), salah satu organisasi kepenulisan paling elite yang pernah ada di Makassar.
Kini, di samping kesibukan bisnis, sejak 2005 ia juga aktif sebagai Ketua Forum Poso Bersatu, sebuah organisasi kaum pemberani yang selama ini bertindak sebagai kontra provokator guna menghentikan dan meredam berulangnya konflik Poso. Alamat Email: rudypontoh@gmail.com, SMS: 08111 85 929
Antara Janji SBY-JK dan Angin (Kata Pendahuluan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Waktu pemilu dulu, saya adalah pendukung independen SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla). Bahkan hingga saya merasa pesimis dengan janji-janji yang kerap dilontarkan SBY-JK pada masa kampanye dulu, saya tetap mendukung mereka. Saya yakin orang seperti saya ada jutaan jumlahnya di negeri ini.
Jangankan diberi waktu 100 hari, dalam waktu lima tahun masa pemerintahnya pun banyak janji yang menurut saya akan sulit dibuktikan. Bahkan jika masa pemerintahannya ditambah berlipat-lipat kali pun masih ada janji yang masih sulit untuk dibuktikan. Pernahkah Anda membayangkan negeri yang konon mewarisi budaya korup dari "sononya" dan selalu menduduki peringkat kelima atau keenam terkorup di dunia ini benar-benar bersih dari koruptor hanya berkat program pemberantasan korupsi yang 100 hari, lima tahun, atau 10 tahun? Jika anda menjawab ya, itu berarti Anda sama optimisnya dengan generasi tiga, empat atau lima dekade yang lalu dan sama akan kecewanya Anda dengan tiga, empat atau lima generasi mendatang.
Lalu apa arti sebuah janji? Itu tergantung bagaimana, siapa, dan untuk apa janji itu diucapkan. Bertanyalah pada seorang ulama, dan ia akan menjawab bahwa seorang muslim yang baik seharusnya menepati janji-janji yang ia ucapkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Kita pun diajarkan untuk melafazkan "insya Allah" saat mengucapkan janji. Bertanyalah kepada seorang penyanyi, ia mungkin akan berkata bahwa janji adalah sesuatu yang enak untuk didendangkan tapi tidak untuk dibuktikan. Bertanyalah kepada seorang ahli filsafat, maka ia akan mengaitkan masalah janji itu dengan tanggung jawab atau responsibility yang diartikan sebagai accountabiliy (perhitungan), obligation (kewajiban), dan cause (penggerak). Dan jika kita bertanya kepada SBY-JK apakah mereka pernah mengucapkan janji saat kampanye dulu, mereka pun mungkin akan berpendapat bahwa apa yang mereka ucapkan dulu itu bukanlah janji melainkan rencana. Jadi, sah saja jika kemudian saya berpendapat bahwa apa yang diucapkan SBY-JK dulu memang bukanlah janji atau komitmen melainkan angin yang keluar dalam bentuk suara melalui sebuah proses di tenggorokan.
Kenyataan pertama yang bisa kita jadikan indikator bahwa apa yang mereka katakan hanyalah angin tak perlu harus dibuktikan dengan menunggu waktu 100 hari atau hingga lima tahun ke depan. Sejak malam pengumuman kabinet tanggal 20 Oktober 2004 lalu, aroma angin sebenarnya sudah mulai terasa di Istana. Pada mulanya pengumuman kabinet dijanjikan akan berlangsung pukul 20.00 WIB. Ternyata para wartawan yang menunggu mewakili jutaan pemirsa di depan televisi terpaksa cuma menghirup angin karena waktu pengumuman ditunda hingga pukul 23.00. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, lagi-lagi mereka harus menghirup angin tak sedap karena pengumuman baru bisa dilaksananakan beberapa menit menjelang tengah malam.
Sesudahnya, banyak lagi indikator lain yang bisa membuktikan bahwa ucapan mereka dulu itu hanyalah angin. Dalam riuh-rendah masa kampanye dulu mereka mengatakan akan melakukan shock therapy dalam bidang pemberantasan KKN pada masa 100 hari pertama pemerintahan mereka. Ekspektasi masyarakat menjadi begitu tinggi karena mereka berharap shock terapy itu akan berwujud penangkapan koruptor kelas kakap. Ternyata yang tertangkap hanyalah koruptor kelas teri sekelas Puteh dan Gubernur Sumbar yang saya sendiri bahkan lupa namanya karena tidak begitu dikenal. Masyarakat pun baru sadar bahwa mereka telah menerima angin. Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, istri almarhum Munir juga sempat terkena angin ketika berkunjung ke istana. Untungnya ia tak langsung masuk angin begitu tahu pembentukan komisi independen untuk membongkar kasus Munir ketika itu ternyata hanyalah angin.
Indikator lain, beberapa waktu setelah pelantikan SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, rakyat terpaksa berteriak ketika Pertamina menaikkan harga petramax dan elpiji. Kenaikkan ini diikuti dengan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga minyak tanah yang Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Padahal, masih terngiang-ngiang di telinga waktu kampanye dulu SBY-JK dengan lantang dan merdu menyuarakan bahwa kebijakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kenaikkan minyak dunia tidak akan membebani rakyat kecil. Ini juga ternyata hanyalah angin. Toh, meski tahu bahwa itu hanyalah angin, masyarakat kita hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lapang hati.
Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang selalu atau terpaksa menjadi mafhum. Ketika SBY berkunjung ke luar negeri saat kematian Yasser Arafat dan pertemuan APEC di Chile, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Jurusan Politik Pemerintahan buru-buru menggelar diskusi bertajuk; 'Citra Indonesia di Luar Negeri; Suatu Analisis Diplomasi Publik dalam 100 Hari Pemerintahan SBY-JK'. Pasalnya, dalam masa kampanye dulu SBY pernah mengatakan bahwa tiga bulan pertama masa pemerintahannya ia akan lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah di dalam negeri ketimbang luar negeri. Hasil diskusi? Kunjungan SBY ke luar negeri masih bisa dimaklumi karena berhubungan dengan citra Indonesia di luar negeri.
Kita, sejak dulu, adalah bangsa yang selalu bisa dengan mudah memaklumi dan bisa dengan sabar menunggu janji meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin. Sebuah rezim, sebuah orde, sebuah pemerintahan sebenarnya adalah sebuah janji meski janji itu tidak pernah diucapkan atau ditandatangani. Ketika rezim Soeharto berkuasa, kita menunggu terjadinya angin "keajaiban" sehingga kita bisa keluar dari genggaman rezim otoriter. Setelah dada terasa sesak menunggu, Soeharto berhasil dimundurkan dan datanglah angin reformasi. Kita pun menunggu terjadinya perbaikan. Hingga hidung terasa sengak untuk bernapas karena banyaknya angin, perbaikan rasanya tak kunjung datang jua. Jadi, harus dilakukan perubahan. Maka datanglah angin perubahan. Kita pun menunggu kapan perubahan akan terjadi. Lima tahun ke depan setelah perubahan tak kunjung terasa dan dada kita semakin sesak karena banyaknya angin yang masuk mungkin akan berhembus angin baru yang bernama angin pelurusan. Alhasil? Ya, kita akan dengan setia menunggu meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin.
Kita adalah bangsa yang menanti. Sadar atau tidak, jauh di dalam hati, kita menikmati saat-saat penantian itu sebagaimana kita menikmati angin ketika sedang duduk di tepi pantai. Kita suka mendengar janji-janji, karena di dalam janji-janji itu terkandung sebuah harapan. Kita juga menikmati saat-saat menunggu bukti dari janji-janji itu karena di situ bergulir sebuah ketegangan. Kita akan senantiasa menikmati apapun yang dijanjikan tak perduli apakah janji itu bisa terbukti atau tidak. Dan ketika janji itu memang tidak terbukti, kita akan dengan segera mencari pembenaran agar kita bisa tetap menikmati angin-angin yang baru.
Lalu masih perlukah kita memperdebatkan soal angin sementara kita sendiri menikmati apa yang akan kita perdebatkan?
Saya adalah pendukung SBY-JK bahkan ketika saya yakin janji-janji mereka hanyalah angin. Mengapa? Karena sejak awal saya tidak pernah berharap banyak dari apa yang mereka janjikan. Saya merasa puas sebagai penikmat angin sejati. Saya melihat, masalah angin bukanlah indikator baik-buruknya sebuah pemerintahan. Mereka adalah baik dan kita masyarakat sama baiknya dengan mereka. Mereka adalah sebuah konfigurasi dari struktur pembuat janji yang baik dan kita adalah masyarakat yang tersusun atas unsur-unsur pendengar janji yang baik. Jadi tak usahlah kita terlalu berharap mereka akan menepati janji mereka persis sama seperti apa yang mereka katakan saat kampanye dulu. Di bidang ini mungkin mereka sama buruknya dengan kita. Mereka buruk dalam menepati janji dan kita buruk dalam menuntut janji. Dari pada berdebat berkepanjangan, bukankah akan lebih baik kita menikmati angin?
Salam,
Rudy S. Pontoh
rudypontoh@gmail.com
CATATAN: Tulisan ini saya tulis kembali berdasarkan tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama yang saya buat atas permintaan Jurnal Madani pada awal pemerintahan SBY-JK
Jangankan diberi waktu 100 hari, dalam waktu lima tahun masa pemerintahnya pun banyak janji yang menurut saya akan sulit dibuktikan. Bahkan jika masa pemerintahannya ditambah berlipat-lipat kali pun masih ada janji yang masih sulit untuk dibuktikan. Pernahkah Anda membayangkan negeri yang konon mewarisi budaya korup dari "sononya" dan selalu menduduki peringkat kelima atau keenam terkorup di dunia ini benar-benar bersih dari koruptor hanya berkat program pemberantasan korupsi yang 100 hari, lima tahun, atau 10 tahun? Jika anda menjawab ya, itu berarti Anda sama optimisnya dengan generasi tiga, empat atau lima dekade yang lalu dan sama akan kecewanya Anda dengan tiga, empat atau lima generasi mendatang.
Lalu apa arti sebuah janji? Itu tergantung bagaimana, siapa, dan untuk apa janji itu diucapkan. Bertanyalah pada seorang ulama, dan ia akan menjawab bahwa seorang muslim yang baik seharusnya menepati janji-janji yang ia ucapkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Kita pun diajarkan untuk melafazkan "insya Allah" saat mengucapkan janji. Bertanyalah kepada seorang penyanyi, ia mungkin akan berkata bahwa janji adalah sesuatu yang enak untuk didendangkan tapi tidak untuk dibuktikan. Bertanyalah kepada seorang ahli filsafat, maka ia akan mengaitkan masalah janji itu dengan tanggung jawab atau responsibility yang diartikan sebagai accountabiliy (perhitungan), obligation (kewajiban), dan cause (penggerak). Dan jika kita bertanya kepada SBY-JK apakah mereka pernah mengucapkan janji saat kampanye dulu, mereka pun mungkin akan berpendapat bahwa apa yang mereka ucapkan dulu itu bukanlah janji melainkan rencana. Jadi, sah saja jika kemudian saya berpendapat bahwa apa yang diucapkan SBY-JK dulu memang bukanlah janji atau komitmen melainkan angin yang keluar dalam bentuk suara melalui sebuah proses di tenggorokan.
Kenyataan pertama yang bisa kita jadikan indikator bahwa apa yang mereka katakan hanyalah angin tak perlu harus dibuktikan dengan menunggu waktu 100 hari atau hingga lima tahun ke depan. Sejak malam pengumuman kabinet tanggal 20 Oktober 2004 lalu, aroma angin sebenarnya sudah mulai terasa di Istana. Pada mulanya pengumuman kabinet dijanjikan akan berlangsung pukul 20.00 WIB. Ternyata para wartawan yang menunggu mewakili jutaan pemirsa di depan televisi terpaksa cuma menghirup angin karena waktu pengumuman ditunda hingga pukul 23.00. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, lagi-lagi mereka harus menghirup angin tak sedap karena pengumuman baru bisa dilaksananakan beberapa menit menjelang tengah malam.
Sesudahnya, banyak lagi indikator lain yang bisa membuktikan bahwa ucapan mereka dulu itu hanyalah angin. Dalam riuh-rendah masa kampanye dulu mereka mengatakan akan melakukan shock therapy dalam bidang pemberantasan KKN pada masa 100 hari pertama pemerintahan mereka. Ekspektasi masyarakat menjadi begitu tinggi karena mereka berharap shock terapy itu akan berwujud penangkapan koruptor kelas kakap. Ternyata yang tertangkap hanyalah koruptor kelas teri sekelas Puteh dan Gubernur Sumbar yang saya sendiri bahkan lupa namanya karena tidak begitu dikenal. Masyarakat pun baru sadar bahwa mereka telah menerima angin. Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, istri almarhum Munir juga sempat terkena angin ketika berkunjung ke istana. Untungnya ia tak langsung masuk angin begitu tahu pembentukan komisi independen untuk membongkar kasus Munir ketika itu ternyata hanyalah angin.
Indikator lain, beberapa waktu setelah pelantikan SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, rakyat terpaksa berteriak ketika Pertamina menaikkan harga petramax dan elpiji. Kenaikkan ini diikuti dengan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga minyak tanah yang Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Padahal, masih terngiang-ngiang di telinga waktu kampanye dulu SBY-JK dengan lantang dan merdu menyuarakan bahwa kebijakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kenaikkan minyak dunia tidak akan membebani rakyat kecil. Ini juga ternyata hanyalah angin. Toh, meski tahu bahwa itu hanyalah angin, masyarakat kita hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lapang hati.
Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang selalu atau terpaksa menjadi mafhum. Ketika SBY berkunjung ke luar negeri saat kematian Yasser Arafat dan pertemuan APEC di Chile, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Jurusan Politik Pemerintahan buru-buru menggelar diskusi bertajuk; 'Citra Indonesia di Luar Negeri; Suatu Analisis Diplomasi Publik dalam 100 Hari Pemerintahan SBY-JK'. Pasalnya, dalam masa kampanye dulu SBY pernah mengatakan bahwa tiga bulan pertama masa pemerintahannya ia akan lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah di dalam negeri ketimbang luar negeri. Hasil diskusi? Kunjungan SBY ke luar negeri masih bisa dimaklumi karena berhubungan dengan citra Indonesia di luar negeri.
Kita, sejak dulu, adalah bangsa yang selalu bisa dengan mudah memaklumi dan bisa dengan sabar menunggu janji meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin. Sebuah rezim, sebuah orde, sebuah pemerintahan sebenarnya adalah sebuah janji meski janji itu tidak pernah diucapkan atau ditandatangani. Ketika rezim Soeharto berkuasa, kita menunggu terjadinya angin "keajaiban" sehingga kita bisa keluar dari genggaman rezim otoriter. Setelah dada terasa sesak menunggu, Soeharto berhasil dimundurkan dan datanglah angin reformasi. Kita pun menunggu terjadinya perbaikan. Hingga hidung terasa sengak untuk bernapas karena banyaknya angin, perbaikan rasanya tak kunjung datang jua. Jadi, harus dilakukan perubahan. Maka datanglah angin perubahan. Kita pun menunggu kapan perubahan akan terjadi. Lima tahun ke depan setelah perubahan tak kunjung terasa dan dada kita semakin sesak karena banyaknya angin yang masuk mungkin akan berhembus angin baru yang bernama angin pelurusan. Alhasil? Ya, kita akan dengan setia menunggu meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin.
Kita adalah bangsa yang menanti. Sadar atau tidak, jauh di dalam hati, kita menikmati saat-saat penantian itu sebagaimana kita menikmati angin ketika sedang duduk di tepi pantai. Kita suka mendengar janji-janji, karena di dalam janji-janji itu terkandung sebuah harapan. Kita juga menikmati saat-saat menunggu bukti dari janji-janji itu karena di situ bergulir sebuah ketegangan. Kita akan senantiasa menikmati apapun yang dijanjikan tak perduli apakah janji itu bisa terbukti atau tidak. Dan ketika janji itu memang tidak terbukti, kita akan dengan segera mencari pembenaran agar kita bisa tetap menikmati angin-angin yang baru.
Lalu masih perlukah kita memperdebatkan soal angin sementara kita sendiri menikmati apa yang akan kita perdebatkan?
Saya adalah pendukung SBY-JK bahkan ketika saya yakin janji-janji mereka hanyalah angin. Mengapa? Karena sejak awal saya tidak pernah berharap banyak dari apa yang mereka janjikan. Saya merasa puas sebagai penikmat angin sejati. Saya melihat, masalah angin bukanlah indikator baik-buruknya sebuah pemerintahan. Mereka adalah baik dan kita masyarakat sama baiknya dengan mereka. Mereka adalah sebuah konfigurasi dari struktur pembuat janji yang baik dan kita adalah masyarakat yang tersusun atas unsur-unsur pendengar janji yang baik. Jadi tak usahlah kita terlalu berharap mereka akan menepati janji mereka persis sama seperti apa yang mereka katakan saat kampanye dulu. Di bidang ini mungkin mereka sama buruknya dengan kita. Mereka buruk dalam menepati janji dan kita buruk dalam menuntut janji. Dari pada berdebat berkepanjangan, bukankah akan lebih baik kita menikmati angin?
Salam,
Rudy S. Pontoh
rudypontoh@gmail.com
CATATAN: Tulisan ini saya tulis kembali berdasarkan tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama yang saya buat atas permintaan Jurnal Madani pada awal pemerintahan SBY-JK
Ucapan Terima Kasih Khusus dari Penerbit Buku ini untuk MODERATOR dan AKTIVIS milis
“Terima kasih khusus kami ucapkan kepada MODERATOR dan AKTIVIS milis (mailing list) di bawah ini yang telah banyak membantu upaya menerbitkan kembali buku ini:
agromania, bacayo, bandung_pusatbuku, bhinneka_tunggal_ika, bmmi, buku-islam, bukukita, cfbe (centre for the betterment of education), cikeas, dastanbooks, dikmenjur, diskusi-pembebasan, ebookmaniak, ekonomi-islami, eramuslim, escaevabookclub, indonesia-online, indotalks, info_madani, islamic_discussion_via_internet, jaker, jardiknas, jelajahbudaya, junior_trader, jurnalisme, kajian_lepaskerja, katasibijak, kebumian, kolbu, komunitashistoria, lintaseni, mediacare, media-indonesia, milis-kammi, mobilemaniak, nasional-list, pakguruonline, pantau-komunitas, pasarbuku, pendidikan, penulislepas, ppiindia, proletar, referensi_maya, relasimania, resensibuku, rezaervani, sukasukamu, sulteng, tauziyah, tou-kawanua, wanita-muslimah, wartawanindonesia, yok_bacabuku, zamanku.”
agromania, bacayo, bandung_pusatbuku, bhinneka_tunggal_ika, bmmi, buku-islam, bukukita, cfbe (centre for the betterment of education), cikeas, dastanbooks, dikmenjur, diskusi-pembebasan, ebookmaniak, ekonomi-islami, eramuslim, escaevabookclub, indonesia-online, indotalks, info_madani, islamic_discussion_via_internet, jaker, jardiknas, jelajahbudaya, junior_trader, jurnalisme, kajian_lepaskerja, katasibijak, kebumian, kolbu, komunitashistoria, lintaseni, mediacare, media-indonesia, milis-kammi, mobilemaniak, nasional-list, pakguruonline, pantau-komunitas, pasarbuku, pendidikan, penulislepas, ppiindia, proletar, referensi_maya, relasimania, resensibuku, rezaervani, sukasukamu, sulteng, tauziyah, tou-kawanua, wanita-muslimah, wartawanindonesia, yok_bacabuku, zamanku.”
Bung Rudy, Saya Ingin…(Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Bung Rudy, saya harap buku Anda ini dapat mengajarkan guru dan anak didik tentang kejujuran, sehingga guru tidak lagi disalahkan karena banyak melahirkan pejabat yang korup. Pejabat pasti pernah sekolah, Anda pasti sekolah. Mereka, Anda, dan saya bisa baca tulis dan pintar karena guru. Lalu mengapa begitu banyak orang yang tidak dapat menghargai guru, mengapa berbagai kebijakan yang muncul tidak untuk mensejahterakan guru? Mengapa SBY-JK menjadi lupa akan janji-janji mereka kepada guru?
Saya ingin tulisan Anda dan buku-buku Anda benar-benar menyentuh rasa nasionalisme yang berkepribadian timur dan bertanggung jawab untuk meluruskan moral para pejabat.
Bung Rudy, mungkin Anda akan berpikir apakah saya juga dapat menulis? Saya berani katakan “ya!”. Hanya saja keadaan saya saat ini tidak memungkinkan untuk menulis. Saya adalah mantan guru honorer yang dipandang sebelah mata. Keadaan ekonomi saya morat-marit: rumah tak punya, kendaraan tahun 87 (butut) lalu bagaimana saya dapat fokus menulis sehebat Anda jika keadaan saya seperti itu? Cuma, saya selalu dapat memberikan masukan kepada penulis profesional seperti Anda. Saya ingin agar Anda lebih berani mengungkap fakta dan data di negara kita ini demi anak bangsa.
Bung Rudy, saya juga ingin Anda memperjuangkan "dokrin keguruan yang hilang" dengan tidak adanya SPG, SGO dan SMOA. Saya tak percaya dengan guru sekarang yang sarjana namun tidak mengerti doktrin keguruan sehingga tidak memiliki jiwa guru yang sebenarnya. Hal ini juga pernah saya angkat di sebuah milis (mailing list) namun tak ada satu pun yang berani menanggapi.
Di zaman sekarang, banyak guru yang tidak memiliki jiwa keguruan. Mereka jadi guru bukan karena panggilan hati melainkan karena terpaksa (daripada nganggur). Sekarang ini banyak yang jadi guru harus pakai duit. Untuk naik pangkat, mereka juga harus rajin ngirim upeti. Saya yakin sebenarnya Anda tahu hal ini. Saya harap Anda bisa membuat buku tentang ini dan saya akan membantu Anda menunjukkan fakta-fakta.
Bung Rudy, saya tidak mau lagi menunggu janji-janji, berharap realisasi janji-janji dari siapapun bahkan dari orang nomor satu di republik ini. Saya hanya ingin Anda membangkitkan rakyat melalui tulisan-tulisan Anda, membangkitkan para guru, dan para guru akan membangkitkan anak didiknya. Dengan begitu, saya rasa kehidupan kita akan menjadi lebih baik.
Sutarman
Mantan guru honorer
Balikpapan, Kalimantan Timur
Saya ingin tulisan Anda dan buku-buku Anda benar-benar menyentuh rasa nasionalisme yang berkepribadian timur dan bertanggung jawab untuk meluruskan moral para pejabat.
Bung Rudy, mungkin Anda akan berpikir apakah saya juga dapat menulis? Saya berani katakan “ya!”. Hanya saja keadaan saya saat ini tidak memungkinkan untuk menulis. Saya adalah mantan guru honorer yang dipandang sebelah mata. Keadaan ekonomi saya morat-marit: rumah tak punya, kendaraan tahun 87 (butut) lalu bagaimana saya dapat fokus menulis sehebat Anda jika keadaan saya seperti itu? Cuma, saya selalu dapat memberikan masukan kepada penulis profesional seperti Anda. Saya ingin agar Anda lebih berani mengungkap fakta dan data di negara kita ini demi anak bangsa.
Bung Rudy, saya juga ingin Anda memperjuangkan "dokrin keguruan yang hilang" dengan tidak adanya SPG, SGO dan SMOA. Saya tak percaya dengan guru sekarang yang sarjana namun tidak mengerti doktrin keguruan sehingga tidak memiliki jiwa guru yang sebenarnya. Hal ini juga pernah saya angkat di sebuah milis (mailing list) namun tak ada satu pun yang berani menanggapi.
Di zaman sekarang, banyak guru yang tidak memiliki jiwa keguruan. Mereka jadi guru bukan karena panggilan hati melainkan karena terpaksa (daripada nganggur). Sekarang ini banyak yang jadi guru harus pakai duit. Untuk naik pangkat, mereka juga harus rajin ngirim upeti. Saya yakin sebenarnya Anda tahu hal ini. Saya harap Anda bisa membuat buku tentang ini dan saya akan membantu Anda menunjukkan fakta-fakta.
Bung Rudy, saya tidak mau lagi menunggu janji-janji, berharap realisasi janji-janji dari siapapun bahkan dari orang nomor satu di republik ini. Saya hanya ingin Anda membangkitkan rakyat melalui tulisan-tulisan Anda, membangkitkan para guru, dan para guru akan membangkitkan anak didiknya. Dengan begitu, saya rasa kehidupan kita akan menjadi lebih baik.
Sutarman
Mantan guru honorer
Balikpapan, Kalimantan Timur
Antara Mulut dan Janji (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Mulutmu adalah harimaumu bukanlah isapan jempol belaka. Apalagi bagi mereka yang sedang berkuasa. Mulut adalah salah satu senjata sakti yang bisa membuat mereka terpilih, dielu-elukan, dan disanjung. Namun di sisi lain, mulut juga bisa membuat mereka dibenci, dicibir, didemo, diprotes dan dijatuhkan.
Secara garis besar, ada dua fase inti penggunaan mulut oleh penguasa atau calon penguasa ini. Pertama, fase umbar mulut atau umbar janji yang biasanya dilakukan pada masa kampanye. Kedua, fase berkelit lidah yang berupa upaya-upaya pengingkaran janji yang dilakukan pada masa setelah berkuasa.
Mungkin pada zaman dulu (sebelum masa reformasi) fenomena umbar mulut dan diakhiri berkelit lidah ini merupakan hal yang sangat galib dan tak beresiko apa-apa. Pasalnya, penguasa pada waktu itu begitu berkuasanya sehingga tak ada seorang pun yang bisa mempertanyakan pelaksanaan janji-janji mereka.
Tetapi di zaman sekarang ini, penguasa tak bisa lagi dengan gampang berkelit lidah. Mulut mereka semasa kampanye benar-benar menjelma sebagai harimau mereka yang bisa membuatnya tampak gagah dan disegani bila memegang janji, atau akan tampak garang dan berpotensi memangsa dirinya sendiri bulat-bulat jika janji-janji masa kampanyenya tak ada yang ditepati.
Sayangnya menagih janji penguasa tidaklah mudah. Kebanyakan janji mereka dilontarkan dalam bahasa lisan yang tidak terdokumentasi secara sistematis. Memang liputan-liputan media bisa menjadi sumber dokumentasi. Tapi tak banyak kliping media yang tertata secara sistematis dan gampang diakses. Akibatnya, banyak janji-janji kampanye penguasa yang terlupakan dan terlewat untuk ditagih oleh masyarakat.
Untungnya ada Rudy S Pontoh yang rela bersusah payah untuk mengumpulkan data-data janji penguasa khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) pada satu buku yang gampang dibaca. Hadirnya buku “Janji-janji & Komitmen SBY-JK” ini benar-benar suatu berkah bagi masyarakat Indonesia. Melalui buku ini masyarakat dengan gampang bisa mengevaluasi secara terinci apa yang telah dijanjikan presiden, apa yang telah dipenuhi dan apa yang belum. Benar-benar sebuah buku yang akhirnya dijadikan pegangan oleh para politikus, para pengamat, peneliti, jurnalis, dan semua kalangan yang hidup di negara ini tanpa terkecuali.
Setiap merasakan adanya sebuah ketidakadilan, dengan gampang masyarakat bisa membuka buku ini, melihat apa yang pernah dijanjikan presiden dan akhirnya mempertanyakan apakah janji tersebut sudah dipenuhi? Buku ini benar-benar menjadi buku pedoman bagi seluruh warga Indonesia.
Sepintas memang kehadiran buku ini seperti mengancam gerak langkah SBY-JK, namun kalau dicermati, buku ini pun juga menjadi buku yang sebenarnya menguntungkan bagi sang presiden beserta pembantu-pembantunya. Cukup dengan membaca buku ini, maka SBY-JK dengan gampang bisa melakukan introspeksi, berhati-hati dan menjaga langkah agar tidak terperosok oleh pengingkaran atas janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Dengan begitu hadirnya buku ini justru membantu mereka untuk bisa menjadi pimpinan yang dielu-elukan rakyatnya dengan perwujudan janji-janji mereka yang tertulis di buku ini. Tak perlu mengumbar janji baru. Cukup baca buku ini dan laksanakan janji-janji yang tertulis di dalamnya.
WA Wicaksono
Senior Copywriter Creative Network Communications
Secara garis besar, ada dua fase inti penggunaan mulut oleh penguasa atau calon penguasa ini. Pertama, fase umbar mulut atau umbar janji yang biasanya dilakukan pada masa kampanye. Kedua, fase berkelit lidah yang berupa upaya-upaya pengingkaran janji yang dilakukan pada masa setelah berkuasa.
Mungkin pada zaman dulu (sebelum masa reformasi) fenomena umbar mulut dan diakhiri berkelit lidah ini merupakan hal yang sangat galib dan tak beresiko apa-apa. Pasalnya, penguasa pada waktu itu begitu berkuasanya sehingga tak ada seorang pun yang bisa mempertanyakan pelaksanaan janji-janji mereka.
Tetapi di zaman sekarang ini, penguasa tak bisa lagi dengan gampang berkelit lidah. Mulut mereka semasa kampanye benar-benar menjelma sebagai harimau mereka yang bisa membuatnya tampak gagah dan disegani bila memegang janji, atau akan tampak garang dan berpotensi memangsa dirinya sendiri bulat-bulat jika janji-janji masa kampanyenya tak ada yang ditepati.
Sayangnya menagih janji penguasa tidaklah mudah. Kebanyakan janji mereka dilontarkan dalam bahasa lisan yang tidak terdokumentasi secara sistematis. Memang liputan-liputan media bisa menjadi sumber dokumentasi. Tapi tak banyak kliping media yang tertata secara sistematis dan gampang diakses. Akibatnya, banyak janji-janji kampanye penguasa yang terlupakan dan terlewat untuk ditagih oleh masyarakat.
Untungnya ada Rudy S Pontoh yang rela bersusah payah untuk mengumpulkan data-data janji penguasa khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) pada satu buku yang gampang dibaca. Hadirnya buku “Janji-janji & Komitmen SBY-JK” ini benar-benar suatu berkah bagi masyarakat Indonesia. Melalui buku ini masyarakat dengan gampang bisa mengevaluasi secara terinci apa yang telah dijanjikan presiden, apa yang telah dipenuhi dan apa yang belum. Benar-benar sebuah buku yang akhirnya dijadikan pegangan oleh para politikus, para pengamat, peneliti, jurnalis, dan semua kalangan yang hidup di negara ini tanpa terkecuali.
Setiap merasakan adanya sebuah ketidakadilan, dengan gampang masyarakat bisa membuka buku ini, melihat apa yang pernah dijanjikan presiden dan akhirnya mempertanyakan apakah janji tersebut sudah dipenuhi? Buku ini benar-benar menjadi buku pedoman bagi seluruh warga Indonesia.
Sepintas memang kehadiran buku ini seperti mengancam gerak langkah SBY-JK, namun kalau dicermati, buku ini pun juga menjadi buku yang sebenarnya menguntungkan bagi sang presiden beserta pembantu-pembantunya. Cukup dengan membaca buku ini, maka SBY-JK dengan gampang bisa melakukan introspeksi, berhati-hati dan menjaga langkah agar tidak terperosok oleh pengingkaran atas janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Dengan begitu hadirnya buku ini justru membantu mereka untuk bisa menjadi pimpinan yang dielu-elukan rakyatnya dengan perwujudan janji-janji mereka yang tertulis di buku ini. Tak perlu mengumbar janji baru. Cukup baca buku ini dan laksanakan janji-janji yang tertulis di dalamnya.
WA Wicaksono
Senior Copywriter Creative Network Communications
Langganan:
Postingan (Atom)