Waktu pemilu dulu, saya adalah pendukung independen SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla). Bahkan hingga saya merasa pesimis dengan janji-janji yang kerap dilontarkan SBY-JK pada masa kampanye dulu, saya tetap mendukung mereka. Saya yakin orang seperti saya ada jutaan jumlahnya di negeri ini.
Jangankan diberi waktu 100 hari, dalam waktu lima tahun masa pemerintahnya pun banyak janji yang menurut saya akan sulit dibuktikan. Bahkan jika masa pemerintahannya ditambah berlipat-lipat kali pun masih ada janji yang masih sulit untuk dibuktikan. Pernahkah Anda membayangkan negeri yang konon mewarisi budaya korup dari "sononya" dan selalu menduduki peringkat kelima atau keenam terkorup di dunia ini benar-benar bersih dari koruptor hanya berkat program pemberantasan korupsi yang 100 hari, lima tahun, atau 10 tahun? Jika anda menjawab ya, itu berarti Anda sama optimisnya dengan generasi tiga, empat atau lima dekade yang lalu dan sama akan kecewanya Anda dengan tiga, empat atau lima generasi mendatang.
Lalu apa arti sebuah janji? Itu tergantung bagaimana, siapa, dan untuk apa janji itu diucapkan. Bertanyalah pada seorang ulama, dan ia akan menjawab bahwa seorang muslim yang baik seharusnya menepati janji-janji yang ia ucapkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Kita pun diajarkan untuk melafazkan "insya Allah" saat mengucapkan janji. Bertanyalah kepada seorang penyanyi, ia mungkin akan berkata bahwa janji adalah sesuatu yang enak untuk didendangkan tapi tidak untuk dibuktikan. Bertanyalah kepada seorang ahli filsafat, maka ia akan mengaitkan masalah janji itu dengan tanggung jawab atau responsibility yang diartikan sebagai accountabiliy (perhitungan), obligation (kewajiban), dan cause (penggerak). Dan jika kita bertanya kepada SBY-JK apakah mereka pernah mengucapkan janji saat kampanye dulu, mereka pun mungkin akan berpendapat bahwa apa yang mereka ucapkan dulu itu bukanlah janji melainkan rencana. Jadi, sah saja jika kemudian saya berpendapat bahwa apa yang diucapkan SBY-JK dulu memang bukanlah janji atau komitmen melainkan angin yang keluar dalam bentuk suara melalui sebuah proses di tenggorokan.
Kenyataan pertama yang bisa kita jadikan indikator bahwa apa yang mereka katakan hanyalah angin tak perlu harus dibuktikan dengan menunggu waktu 100 hari atau hingga lima tahun ke depan. Sejak malam pengumuman kabinet tanggal 20 Oktober 2004 lalu, aroma angin sebenarnya sudah mulai terasa di Istana. Pada mulanya pengumuman kabinet dijanjikan akan berlangsung pukul 20.00 WIB. Ternyata para wartawan yang menunggu mewakili jutaan pemirsa di depan televisi terpaksa cuma menghirup angin karena waktu pengumuman ditunda hingga pukul 23.00. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, lagi-lagi mereka harus menghirup angin tak sedap karena pengumuman baru bisa dilaksananakan beberapa menit menjelang tengah malam.
Sesudahnya, banyak lagi indikator lain yang bisa membuktikan bahwa ucapan mereka dulu itu hanyalah angin. Dalam riuh-rendah masa kampanye dulu mereka mengatakan akan melakukan shock therapy dalam bidang pemberantasan KKN pada masa 100 hari pertama pemerintahan mereka. Ekspektasi masyarakat menjadi begitu tinggi karena mereka berharap shock terapy itu akan berwujud penangkapan koruptor kelas kakap. Ternyata yang tertangkap hanyalah koruptor kelas teri sekelas Puteh dan Gubernur Sumbar yang saya sendiri bahkan lupa namanya karena tidak begitu dikenal. Masyarakat pun baru sadar bahwa mereka telah menerima angin. Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, istri almarhum Munir juga sempat terkena angin ketika berkunjung ke istana. Untungnya ia tak langsung masuk angin begitu tahu pembentukan komisi independen untuk membongkar kasus Munir ketika itu ternyata hanyalah angin.
Indikator lain, beberapa waktu setelah pelantikan SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, rakyat terpaksa berteriak ketika Pertamina menaikkan harga petramax dan elpiji. Kenaikkan ini diikuti dengan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga minyak tanah yang Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Padahal, masih terngiang-ngiang di telinga waktu kampanye dulu SBY-JK dengan lantang dan merdu menyuarakan bahwa kebijakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kenaikkan minyak dunia tidak akan membebani rakyat kecil. Ini juga ternyata hanyalah angin. Toh, meski tahu bahwa itu hanyalah angin, masyarakat kita hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lapang hati.
Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang selalu atau terpaksa menjadi mafhum. Ketika SBY berkunjung ke luar negeri saat kematian Yasser Arafat dan pertemuan APEC di Chile, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Jurusan Politik Pemerintahan buru-buru menggelar diskusi bertajuk; 'Citra Indonesia di Luar Negeri; Suatu Analisis Diplomasi Publik dalam 100 Hari Pemerintahan SBY-JK'. Pasalnya, dalam masa kampanye dulu SBY pernah mengatakan bahwa tiga bulan pertama masa pemerintahannya ia akan lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah di dalam negeri ketimbang luar negeri. Hasil diskusi? Kunjungan SBY ke luar negeri masih bisa dimaklumi karena berhubungan dengan citra Indonesia di luar negeri.
Kita, sejak dulu, adalah bangsa yang selalu bisa dengan mudah memaklumi dan bisa dengan sabar menunggu janji meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin. Sebuah rezim, sebuah orde, sebuah pemerintahan sebenarnya adalah sebuah janji meski janji itu tidak pernah diucapkan atau ditandatangani. Ketika rezim Soeharto berkuasa, kita menunggu terjadinya angin "keajaiban" sehingga kita bisa keluar dari genggaman rezim otoriter. Setelah dada terasa sesak menunggu, Soeharto berhasil dimundurkan dan datanglah angin reformasi. Kita pun menunggu terjadinya perbaikan. Hingga hidung terasa sengak untuk bernapas karena banyaknya angin, perbaikan rasanya tak kunjung datang jua. Jadi, harus dilakukan perubahan. Maka datanglah angin perubahan. Kita pun menunggu kapan perubahan akan terjadi. Lima tahun ke depan setelah perubahan tak kunjung terasa dan dada kita semakin sesak karena banyaknya angin yang masuk mungkin akan berhembus angin baru yang bernama angin pelurusan. Alhasil? Ya, kita akan dengan setia menunggu meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin.
Kita adalah bangsa yang menanti. Sadar atau tidak, jauh di dalam hati, kita menikmati saat-saat penantian itu sebagaimana kita menikmati angin ketika sedang duduk di tepi pantai. Kita suka mendengar janji-janji, karena di dalam janji-janji itu terkandung sebuah harapan. Kita juga menikmati saat-saat menunggu bukti dari janji-janji itu karena di situ bergulir sebuah ketegangan. Kita akan senantiasa menikmati apapun yang dijanjikan tak perduli apakah janji itu bisa terbukti atau tidak. Dan ketika janji itu memang tidak terbukti, kita akan dengan segera mencari pembenaran agar kita bisa tetap menikmati angin-angin yang baru.
Lalu masih perlukah kita memperdebatkan soal angin sementara kita sendiri menikmati apa yang akan kita perdebatkan?
Saya adalah pendukung SBY-JK bahkan ketika saya yakin janji-janji mereka hanyalah angin. Mengapa? Karena sejak awal saya tidak pernah berharap banyak dari apa yang mereka janjikan. Saya merasa puas sebagai penikmat angin sejati. Saya melihat, masalah angin bukanlah indikator baik-buruknya sebuah pemerintahan. Mereka adalah baik dan kita masyarakat sama baiknya dengan mereka. Mereka adalah sebuah konfigurasi dari struktur pembuat janji yang baik dan kita adalah masyarakat yang tersusun atas unsur-unsur pendengar janji yang baik. Jadi tak usahlah kita terlalu berharap mereka akan menepati janji mereka persis sama seperti apa yang mereka katakan saat kampanye dulu. Di bidang ini mungkin mereka sama buruknya dengan kita. Mereka buruk dalam menepati janji dan kita buruk dalam menuntut janji. Dari pada berdebat berkepanjangan, bukankah akan lebih baik kita menikmati angin?
Salam,
Rudy S. Pontoh
rudypontoh@gmail.com
CATATAN: Tulisan ini saya tulis kembali berdasarkan tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama yang saya buat atas permintaan Jurnal Madani pada awal pemerintahan SBY-JK
Nonton Dulu Videonya !
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar