JUDUL BUKU: Janji-Janji & Komitmen SBY-JK (Ed.2), Ternyata Hanya Angin? PENULIS: Rudy S. Pontoh, PENERBIT: Boki Cipta Media, Jakarta, PERANCANG SAMPUL: Ledi Raja, EDISI: Edisi Kedua, ISBN: 978-979-17267-0-2, TEBAL: xxvii + 214 halaman, HARGA: Rp 58 ribu, DISTRIBUTOR: Boki Cipta Distributor Kini Buku Tersebut Bisa Anda Dapakan di Semua Toko Buku Terkemuka di Indonesia. Buruan, Jangan sampai kehabisan!!
Anda juga dapat memesannya secara langsung. Untuk informasi hubungi Boki Cipta Media:
Email: bokicipta@gmail.com
Fax: 021-7199660 SMS: 0813 83067264
DOWNLOAD EBOOK
Nonton Dulu Videonya !
Selasa, 08 Januari 2008
Beragam Testimoni & Komentar untuk Buku Janji-janji & Komitmen SBY-JK edisi 2
“Yang saya soroti dari buku ini adalah janji SBY untuk membangun demokrasi melalui kebijakan antidiskriminasi. Akan tetapi, di masa SBY, kebijakan yang diskriminatif dan antipluralisme sangat menonjol, khususnya dalam bidang agama. Terutama terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas. Indikator: Pengabaian hak-hak sipil para penghayat kepercayaan, penyerangan terhadap Ahmadiyah, penutupan gereja-gereja Kristen, dan penangkapan para pimpinan aliran-aliran baru: Lia Eden, Al-Qiyadah, dan lain-lain. Akibatnya, timbul konflik horisontal: kelompok mayoritas menyerang minoritas dengan dalih fatwa MUI.
Sepanjang sejarah RI, baru SBY presiden yang tunduk pada fatwa MUI. Padahal, fatwa MUI tidak punya tempat dalam struktur hukum di Indonesia. Mestinya dia hanya berpedoman pada Pancasila dan UUD ‘45 yang menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan kepercayaan masing-masing. “
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A
Jakarta
“Walau saya pernah dekat dan bekerja sama – namun saya tidak pernah bisa menebak, membaca, dan memprediksi apa yang ada dalam benak dan apa yang akan dilakukan seorang SBY. Yang dapat saya pastikan, menurut pendapat pribadi saya, bahwa SBY adalah seorang politisi ulung, tangguh, dan sabar. Beliau pandai memainkan manajemen waktu, lihai mengatur emosi kawan maupun lawan, dan amat cerdas menggiring atmosfir di setiap tempat dan komunitas. Beliau juga sangat tangkas menjadikan dirinya sebagai magnet dalam seketika. Dalam keadaan serba normal, beliau memang pas dan pantas menjadi presiden bagi negeri ini. “
Sepanjang sejarah RI, baru SBY presiden yang tunduk pada fatwa MUI. Padahal, fatwa MUI tidak punya tempat dalam struktur hukum di Indonesia. Mestinya dia hanya berpedoman pada Pancasila dan UUD ‘45 yang menjamin kemerdekaan setiap warga untuk menganut agama dan kepercayaan masing-masing. “
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A
Jakarta
“Walau saya pernah dekat dan bekerja sama – namun saya tidak pernah bisa menebak, membaca, dan memprediksi apa yang ada dalam benak dan apa yang akan dilakukan seorang SBY. Yang dapat saya pastikan, menurut pendapat pribadi saya, bahwa SBY adalah seorang politisi ulung, tangguh, dan sabar. Beliau pandai memainkan manajemen waktu, lihai mengatur emosi kawan maupun lawan, dan amat cerdas menggiring atmosfir di setiap tempat dan komunitas. Beliau juga sangat tangkas menjadikan dirinya sebagai magnet dalam seketika. Dalam keadaan serba normal, beliau memang pas dan pantas menjadi presiden bagi negeri ini. “
Sys NS
Ketua Umum DPP Partai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Jakarta
“Kritik Rudy S. Pontoh dalam buku ini memperjelas kita bahwa kritik bukan saja sebuah keinginan dari warganegara untuk bebas bicara, tapi juga sebuah kebutuhan dari pemerintah negara agar berbuat lebih baik.”
Usman Hamid
Koordinator Kontras
Menteng, Jakarta Pusat
“Adanya hasrat dari kalangan SBY-JK untuk berpaket kembali atau pun secara terpisah menunjukkan keyakinan bahwa janji-janji dan komitmen mereka seperti yang saya baca dalam buku ini rasanya telah ditebus secara perlahan. Proses demokratisasi, desentralisasi, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat relatif baik dan terbebas dari IMF. Pemberantasan korupsi belum memuaskan masih bertumpu pada penguatan institusional. Yang menonjol adalah pelaksanaan demokrasi di Indonesia jauh lebih baik dari Singapura dan Malaysia. Kabinet ekonominya belum “menggigit” menangani makroekonomi.”
Prof. Dr. Amran Razak, SE, M.Sc
Guru Besar FKM Universitas Hasanuddin
Makassar
“Seseorang yang tidak mampu menepati janji tidak layak jadi pemimpin. Secara pribadi, saya masih ingin percaya dan berharap pada SBY. Tapi hampir semua seniman dari berbagai propinsi yang hadir di Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Papua Agustus 2005 lalu menganggap SBY pembohong / tidak bisa memegang kata-kata.
Pada penutupan kongres dimaksud SBY berjanji membangun kesenian Indonesia dengan sungguh – sungguh, salah satunya dengan mensahkan DKI (Dewan Kesenian Indonesia) sebagai keputusan kongres. Dua setengah tahun Tim Formatur DKI melakukan berbagai cara menagih janji, NIHIL. Kalau janji resmi dan ditayangkan TVRI ke seluruh negeri saja tidak ditepati…sekarang silahkan rakyat menilai. Sebab dalam hal tidak kunjung disahkannya DKI, SBY hanya memberi kita dua pilihan kemungkinan: SBY tidak mampu atau SBY tidak bisa dipegang kata-katanya. Dua-duanya tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.”
Ratna Sarumpaet
Aktivis dan Seniman
Jakarta
“Agar diungkapkan juga mengenai apa yang tidak/belum pernah dijanjikan SBY-JK kepada rakyat. Kadang pemimpin sering melupakan apa yang dijanjikan dan membuat janji-janji baru untuk mempertahankan kepemimpinannya. “
M. Farhat Abbas, SH
Basmar, Mampang
Jakarta Selatan
“Buku ini mudah-mudahan jadi pelajaran moral nomor satu bagi siapa saja yang mengaku pemimpin atau siapa saja yang mau terjun ke dunia politik. Negeri ini tidak butuh janji, tapi kerja nyata yang dikawal oleh visi dan moralitas sejati.”
Ahmad Ushtuchri, SE
Pimpinan Pondok Pesantren Annur
Kota Bekasi
“Membaca buku ini saya merasakan pancaran ketulusan dari Bapak SBY. Janji-janji beliau memberikan optimisme yang besar. “
Prof. Dr. Maizar Rahman
Gubernur OPEC
Peneliti Utama Teknologi Minyak & Gas
“Kita semua sepakat janji adalah hutang. Sampai kapan pun dan oleh siapapun hutang akan tertagih. Kalau sudah terlontar sebaiknya ditepati supaya selamat nanti di “sana”. “
Ratih Sanggarwati
Jakarta
“Buku ini sangat dibutuhkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, yang telah dengan ikhlas menjatuhkan pilihannya kepada pasangan SBY-JK. Jika ke depan, untuk periode 2009-2014 pasangan SBY-JK masih ingin terpilih lagi, masih ada sisa waktu untuk membuktikan implementasi janji dan komitmennya terhadapat rakyat. Di era globalisasi, bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang berjuang membawa perubahan positif bagi rakyat, bangsa dan negara, dalam menggapai cita-cita Indonesia sebagai negara yang maju dan sejajar, serta disegani oleh bangsa-bangsa di dunia dalam percaturan internasional. “
Dr. Taruna Ikrar, M.Pharm., Ph.D
Founder CFIS (Center For Interregional Study)
Jepang
“Buku ini telah memberikan kontribusi berharga karena sudah melayani kepentingan masyarakat untuk memantau mereka yang berkuasa (SBY-JK) agar bertanggung jawab pada setiap perilaku, keputusan, dan kebijakannya. “
Josephine Mathilda
Aktivis Persaudaraan Poso
Palu, Sulteng
“Buku ini cukup mewakili tuntutan masyarakat Indonesia yang sangat mengharapkan realisasi terhadap mimpi-mimpi yang diberikan para pemimpin bangsa ini ketika mereka menginginkan dukungan untuk menduduki tahta kekuasaan di negara ini.
Janji-janji yang diumbar pada saat Pemilu 2004 lalu seharusnya sudah dapat kita rasakan sekarang. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana keadaan semakin menuju ke jurang kesengsaraan baik dari sudut moralitas, integritas serta kehidupan perekonomian. Dengan kehadiran buku ini diharapkan SBY-JK menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini adalah realisasi terhadap setiap komitmen yang mereka buat.”
Janji-janji yang diumbar pada saat Pemilu 2004 lalu seharusnya sudah dapat kita rasakan sekarang. Yang terjadi justru sebaliknya, dimana keadaan semakin menuju ke jurang kesengsaraan baik dari sudut moralitas, integritas serta kehidupan perekonomian. Dengan kehadiran buku ini diharapkan SBY-JK menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini adalah realisasi terhadap setiap komitmen yang mereka buat.”
Vera T. Tobing, SH
Kantor Pengacara Vera Tobing & Patners
Jakarta
“Buku ini telah merekam semua janji SBY-JK pada masa kampanye dulu dengan sangat lengkap dan jelas. Dan saya yakin SBY-JK akan terus berusaha menepati janji-janjinya. Hanya soal waktu. Kita lihat saja nanti.”
Muhammad Ikbal, SH
General Manager PT BBS
Jakarta & Kendari
“Saya yakin buku ini menarik dan berguna untuk banyak orang. Namun saya tidak merasa mampu untuk menulis komentar.”
Wimar Witoelar
PT InterMatrix Indonesia
Jakarta Selatan
“Buku ini adalah wujud upaya cerdas guna mencerdaskan anak bangsa. Keberadaannya jelas memberikan efek positif pembelajaran. Jika suatu saat nanti politisi ini hendak kembali naik ke podium kampanyenya, maka setidaknya ia akan berpikir ulang untuk tidak mengumbar janji-janji politik secara sembarangan. Sebab, sekarang ia tahu ucapannya tersebut tidak lagi terbang bersama angin tapi dicetakbukukan menanti pertanggungjawaban dalam bentuk nyata.
Buku ini akan menjadi sumber rujukan bagi kita untuk mengkritisi sudah sejauh mana janji-janji tersebut terwujudkan. Semoga SBY-JK atau mungkin para politisi lain di pentas daerah atau nasional menjadikan ini sebagai barometer.”
Mohammad Aqil Ali, SH
HWS & Partners
Wisma Kemang, Jakarta Selatan
“Penyebaran ide dan gagasan dalam buku ini sangat perlu diketahui khalayak umum, terutama kalangan pendidikan dan aktivis serta kalangan HAM, bahkan untuk kajian kajian hukum lebih dalam.”
Dedeng Z
Staf Pengajar Fak. Hukum UNSRI
Ogan Ilir, Sumsel
“Lebih baik saya tidak mengomentari buku ini karena apapun komentar saya justru akan dipermasalahkan orang. Biarlah kawan-kawan pengamat yang berkomentar.”
Andi Alfian Malarangeng
Juru Bicara Presiden RI
Jakarta
“Para politisi itu mengekploitasi kaum miskin, menjajikan perubahan dan kesejahteraan, padahal rakyat sudah mencatatnya. Berulangkali ingkar janji, ada saatnya melawan dan menagih bakul berisi janji-janji itu.”
Mulyani Hasan
Penulis dan Wartawan
Bandung
“Semoga buku ini tersedia banyak di toko buku manapun dan dijual dengan harga terjangkau sehingga semua orang bisa memilikinya hingga ke masyarakat kalangan menengah ke bawah. “
Yudan S
Perum Graha Sengkaling
Dau – Malang, Jawa Timur
“Setelah membaca buku ini saya berpendapat: yang terpenting adalah janji-janji dan komitmen itu dapat terlaksana secara komprehensif, bertahap, kontinyu, terpadu & terukur demi mencapai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ideal.”
Zikroen Habibie
Jakarta
Biodata Penulis Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK
RUDY S.PONTOH. Lahir di Poso, Sulawesi Tengah, 18 Mei 1964. Kuliah di FK - Unhas (1983-1992) lalu terjun sebagai wiraswasta. Pernah menjabat sebagai salah seorang direksi sebuah perusahaan properti terkemuka di Yogyakarta, lalu sejak 1994 pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta terkenal.
Antara tahun 1983 hingga 1986 ia aktif menulis masalah hukum dan internasional, dua bidang kepenulisan yang paling diminatinya. Juga masalah psikologi dan kesehatan (sesuai latar belakang pendidikanya) di berbagai media cetak Ibukota. Di bidang hukum, ia pernah berpolemik keras dan berkepanjangan dengan Achmad Ali (kini salah seorang tokoh hukum di Indonesia). Pada masa itu, ia juga tergolong penulis aktif angkatan kedua setelah angkatan Hamid Awaluddin (mantan Menteri Hukum dan HAM) di Identitas, koran kampus Universitas Hasanuddin Makassar. Keaktifannya menulis di berbagai media membuat ia kemudian diangkat sebuah Ketua FPM (Forum Penulis Makassar), salah satu organisasi kepenulisan paling elite yang pernah ada di Makassar.
Kini, di samping kesibukan bisnis, sejak 2005 ia juga aktif sebagai Ketua Forum Poso Bersatu, sebuah organisasi kaum pemberani yang selama ini bertindak sebagai kontra provokator guna menghentikan dan meredam berulangnya konflik Poso. Alamat Email: rudypontoh@gmail.com, SMS: 08111 85 929
Antara Janji SBY-JK dan Angin (Kata Pendahuluan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Waktu pemilu dulu, saya adalah pendukung independen SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla). Bahkan hingga saya merasa pesimis dengan janji-janji yang kerap dilontarkan SBY-JK pada masa kampanye dulu, saya tetap mendukung mereka. Saya yakin orang seperti saya ada jutaan jumlahnya di negeri ini.
Jangankan diberi waktu 100 hari, dalam waktu lima tahun masa pemerintahnya pun banyak janji yang menurut saya akan sulit dibuktikan. Bahkan jika masa pemerintahannya ditambah berlipat-lipat kali pun masih ada janji yang masih sulit untuk dibuktikan. Pernahkah Anda membayangkan negeri yang konon mewarisi budaya korup dari "sononya" dan selalu menduduki peringkat kelima atau keenam terkorup di dunia ini benar-benar bersih dari koruptor hanya berkat program pemberantasan korupsi yang 100 hari, lima tahun, atau 10 tahun? Jika anda menjawab ya, itu berarti Anda sama optimisnya dengan generasi tiga, empat atau lima dekade yang lalu dan sama akan kecewanya Anda dengan tiga, empat atau lima generasi mendatang.
Lalu apa arti sebuah janji? Itu tergantung bagaimana, siapa, dan untuk apa janji itu diucapkan. Bertanyalah pada seorang ulama, dan ia akan menjawab bahwa seorang muslim yang baik seharusnya menepati janji-janji yang ia ucapkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Kita pun diajarkan untuk melafazkan "insya Allah" saat mengucapkan janji. Bertanyalah kepada seorang penyanyi, ia mungkin akan berkata bahwa janji adalah sesuatu yang enak untuk didendangkan tapi tidak untuk dibuktikan. Bertanyalah kepada seorang ahli filsafat, maka ia akan mengaitkan masalah janji itu dengan tanggung jawab atau responsibility yang diartikan sebagai accountabiliy (perhitungan), obligation (kewajiban), dan cause (penggerak). Dan jika kita bertanya kepada SBY-JK apakah mereka pernah mengucapkan janji saat kampanye dulu, mereka pun mungkin akan berpendapat bahwa apa yang mereka ucapkan dulu itu bukanlah janji melainkan rencana. Jadi, sah saja jika kemudian saya berpendapat bahwa apa yang diucapkan SBY-JK dulu memang bukanlah janji atau komitmen melainkan angin yang keluar dalam bentuk suara melalui sebuah proses di tenggorokan.
Kenyataan pertama yang bisa kita jadikan indikator bahwa apa yang mereka katakan hanyalah angin tak perlu harus dibuktikan dengan menunggu waktu 100 hari atau hingga lima tahun ke depan. Sejak malam pengumuman kabinet tanggal 20 Oktober 2004 lalu, aroma angin sebenarnya sudah mulai terasa di Istana. Pada mulanya pengumuman kabinet dijanjikan akan berlangsung pukul 20.00 WIB. Ternyata para wartawan yang menunggu mewakili jutaan pemirsa di depan televisi terpaksa cuma menghirup angin karena waktu pengumuman ditunda hingga pukul 23.00. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, lagi-lagi mereka harus menghirup angin tak sedap karena pengumuman baru bisa dilaksananakan beberapa menit menjelang tengah malam.
Sesudahnya, banyak lagi indikator lain yang bisa membuktikan bahwa ucapan mereka dulu itu hanyalah angin. Dalam riuh-rendah masa kampanye dulu mereka mengatakan akan melakukan shock therapy dalam bidang pemberantasan KKN pada masa 100 hari pertama pemerintahan mereka. Ekspektasi masyarakat menjadi begitu tinggi karena mereka berharap shock terapy itu akan berwujud penangkapan koruptor kelas kakap. Ternyata yang tertangkap hanyalah koruptor kelas teri sekelas Puteh dan Gubernur Sumbar yang saya sendiri bahkan lupa namanya karena tidak begitu dikenal. Masyarakat pun baru sadar bahwa mereka telah menerima angin. Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, istri almarhum Munir juga sempat terkena angin ketika berkunjung ke istana. Untungnya ia tak langsung masuk angin begitu tahu pembentukan komisi independen untuk membongkar kasus Munir ketika itu ternyata hanyalah angin.
Indikator lain, beberapa waktu setelah pelantikan SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, rakyat terpaksa berteriak ketika Pertamina menaikkan harga petramax dan elpiji. Kenaikkan ini diikuti dengan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga minyak tanah yang Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Padahal, masih terngiang-ngiang di telinga waktu kampanye dulu SBY-JK dengan lantang dan merdu menyuarakan bahwa kebijakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kenaikkan minyak dunia tidak akan membebani rakyat kecil. Ini juga ternyata hanyalah angin. Toh, meski tahu bahwa itu hanyalah angin, masyarakat kita hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lapang hati.
Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang selalu atau terpaksa menjadi mafhum. Ketika SBY berkunjung ke luar negeri saat kematian Yasser Arafat dan pertemuan APEC di Chile, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Jurusan Politik Pemerintahan buru-buru menggelar diskusi bertajuk; 'Citra Indonesia di Luar Negeri; Suatu Analisis Diplomasi Publik dalam 100 Hari Pemerintahan SBY-JK'. Pasalnya, dalam masa kampanye dulu SBY pernah mengatakan bahwa tiga bulan pertama masa pemerintahannya ia akan lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah di dalam negeri ketimbang luar negeri. Hasil diskusi? Kunjungan SBY ke luar negeri masih bisa dimaklumi karena berhubungan dengan citra Indonesia di luar negeri.
Kita, sejak dulu, adalah bangsa yang selalu bisa dengan mudah memaklumi dan bisa dengan sabar menunggu janji meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin. Sebuah rezim, sebuah orde, sebuah pemerintahan sebenarnya adalah sebuah janji meski janji itu tidak pernah diucapkan atau ditandatangani. Ketika rezim Soeharto berkuasa, kita menunggu terjadinya angin "keajaiban" sehingga kita bisa keluar dari genggaman rezim otoriter. Setelah dada terasa sesak menunggu, Soeharto berhasil dimundurkan dan datanglah angin reformasi. Kita pun menunggu terjadinya perbaikan. Hingga hidung terasa sengak untuk bernapas karena banyaknya angin, perbaikan rasanya tak kunjung datang jua. Jadi, harus dilakukan perubahan. Maka datanglah angin perubahan. Kita pun menunggu kapan perubahan akan terjadi. Lima tahun ke depan setelah perubahan tak kunjung terasa dan dada kita semakin sesak karena banyaknya angin yang masuk mungkin akan berhembus angin baru yang bernama angin pelurusan. Alhasil? Ya, kita akan dengan setia menunggu meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin.
Kita adalah bangsa yang menanti. Sadar atau tidak, jauh di dalam hati, kita menikmati saat-saat penantian itu sebagaimana kita menikmati angin ketika sedang duduk di tepi pantai. Kita suka mendengar janji-janji, karena di dalam janji-janji itu terkandung sebuah harapan. Kita juga menikmati saat-saat menunggu bukti dari janji-janji itu karena di situ bergulir sebuah ketegangan. Kita akan senantiasa menikmati apapun yang dijanjikan tak perduli apakah janji itu bisa terbukti atau tidak. Dan ketika janji itu memang tidak terbukti, kita akan dengan segera mencari pembenaran agar kita bisa tetap menikmati angin-angin yang baru.
Lalu masih perlukah kita memperdebatkan soal angin sementara kita sendiri menikmati apa yang akan kita perdebatkan?
Saya adalah pendukung SBY-JK bahkan ketika saya yakin janji-janji mereka hanyalah angin. Mengapa? Karena sejak awal saya tidak pernah berharap banyak dari apa yang mereka janjikan. Saya merasa puas sebagai penikmat angin sejati. Saya melihat, masalah angin bukanlah indikator baik-buruknya sebuah pemerintahan. Mereka adalah baik dan kita masyarakat sama baiknya dengan mereka. Mereka adalah sebuah konfigurasi dari struktur pembuat janji yang baik dan kita adalah masyarakat yang tersusun atas unsur-unsur pendengar janji yang baik. Jadi tak usahlah kita terlalu berharap mereka akan menepati janji mereka persis sama seperti apa yang mereka katakan saat kampanye dulu. Di bidang ini mungkin mereka sama buruknya dengan kita. Mereka buruk dalam menepati janji dan kita buruk dalam menuntut janji. Dari pada berdebat berkepanjangan, bukankah akan lebih baik kita menikmati angin?
Salam,
Rudy S. Pontoh
rudypontoh@gmail.com
CATATAN: Tulisan ini saya tulis kembali berdasarkan tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama yang saya buat atas permintaan Jurnal Madani pada awal pemerintahan SBY-JK
Jangankan diberi waktu 100 hari, dalam waktu lima tahun masa pemerintahnya pun banyak janji yang menurut saya akan sulit dibuktikan. Bahkan jika masa pemerintahannya ditambah berlipat-lipat kali pun masih ada janji yang masih sulit untuk dibuktikan. Pernahkah Anda membayangkan negeri yang konon mewarisi budaya korup dari "sononya" dan selalu menduduki peringkat kelima atau keenam terkorup di dunia ini benar-benar bersih dari koruptor hanya berkat program pemberantasan korupsi yang 100 hari, lima tahun, atau 10 tahun? Jika anda menjawab ya, itu berarti Anda sama optimisnya dengan generasi tiga, empat atau lima dekade yang lalu dan sama akan kecewanya Anda dengan tiga, empat atau lima generasi mendatang.
Lalu apa arti sebuah janji? Itu tergantung bagaimana, siapa, dan untuk apa janji itu diucapkan. Bertanyalah pada seorang ulama, dan ia akan menjawab bahwa seorang muslim yang baik seharusnya menepati janji-janji yang ia ucapkan baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT. Kita pun diajarkan untuk melafazkan "insya Allah" saat mengucapkan janji. Bertanyalah kepada seorang penyanyi, ia mungkin akan berkata bahwa janji adalah sesuatu yang enak untuk didendangkan tapi tidak untuk dibuktikan. Bertanyalah kepada seorang ahli filsafat, maka ia akan mengaitkan masalah janji itu dengan tanggung jawab atau responsibility yang diartikan sebagai accountabiliy (perhitungan), obligation (kewajiban), dan cause (penggerak). Dan jika kita bertanya kepada SBY-JK apakah mereka pernah mengucapkan janji saat kampanye dulu, mereka pun mungkin akan berpendapat bahwa apa yang mereka ucapkan dulu itu bukanlah janji melainkan rencana. Jadi, sah saja jika kemudian saya berpendapat bahwa apa yang diucapkan SBY-JK dulu memang bukanlah janji atau komitmen melainkan angin yang keluar dalam bentuk suara melalui sebuah proses di tenggorokan.
Kenyataan pertama yang bisa kita jadikan indikator bahwa apa yang mereka katakan hanyalah angin tak perlu harus dibuktikan dengan menunggu waktu 100 hari atau hingga lima tahun ke depan. Sejak malam pengumuman kabinet tanggal 20 Oktober 2004 lalu, aroma angin sebenarnya sudah mulai terasa di Istana. Pada mulanya pengumuman kabinet dijanjikan akan berlangsung pukul 20.00 WIB. Ternyata para wartawan yang menunggu mewakili jutaan pemirsa di depan televisi terpaksa cuma menghirup angin karena waktu pengumuman ditunda hingga pukul 23.00. Ketika waktu yang dijanjikan tiba, lagi-lagi mereka harus menghirup angin tak sedap karena pengumuman baru bisa dilaksananakan beberapa menit menjelang tengah malam.
Sesudahnya, banyak lagi indikator lain yang bisa membuktikan bahwa ucapan mereka dulu itu hanyalah angin. Dalam riuh-rendah masa kampanye dulu mereka mengatakan akan melakukan shock therapy dalam bidang pemberantasan KKN pada masa 100 hari pertama pemerintahan mereka. Ekspektasi masyarakat menjadi begitu tinggi karena mereka berharap shock terapy itu akan berwujud penangkapan koruptor kelas kakap. Ternyata yang tertangkap hanyalah koruptor kelas teri sekelas Puteh dan Gubernur Sumbar yang saya sendiri bahkan lupa namanya karena tidak begitu dikenal. Masyarakat pun baru sadar bahwa mereka telah menerima angin. Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), Suciwati, istri almarhum Munir juga sempat terkena angin ketika berkunjung ke istana. Untungnya ia tak langsung masuk angin begitu tahu pembentukan komisi independen untuk membongkar kasus Munir ketika itu ternyata hanyalah angin.
Indikator lain, beberapa waktu setelah pelantikan SBY-JK menjadi presiden dan wakil presiden RI, rakyat terpaksa berteriak ketika Pertamina menaikkan harga petramax dan elpiji. Kenaikkan ini diikuti dengan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan harga minyak tanah yang Rp 700 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Padahal, masih terngiang-ngiang di telinga waktu kampanye dulu SBY-JK dengan lantang dan merdu menyuarakan bahwa kebijakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kenaikkan minyak dunia tidak akan membebani rakyat kecil. Ini juga ternyata hanyalah angin. Toh, meski tahu bahwa itu hanyalah angin, masyarakat kita hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lapang hati.
Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang selalu atau terpaksa menjadi mafhum. Ketika SBY berkunjung ke luar negeri saat kematian Yasser Arafat dan pertemuan APEC di Chile, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Jurusan Politik Pemerintahan buru-buru menggelar diskusi bertajuk; 'Citra Indonesia di Luar Negeri; Suatu Analisis Diplomasi Publik dalam 100 Hari Pemerintahan SBY-JK'. Pasalnya, dalam masa kampanye dulu SBY pernah mengatakan bahwa tiga bulan pertama masa pemerintahannya ia akan lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah di dalam negeri ketimbang luar negeri. Hasil diskusi? Kunjungan SBY ke luar negeri masih bisa dimaklumi karena berhubungan dengan citra Indonesia di luar negeri.
Kita, sejak dulu, adalah bangsa yang selalu bisa dengan mudah memaklumi dan bisa dengan sabar menunggu janji meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin. Sebuah rezim, sebuah orde, sebuah pemerintahan sebenarnya adalah sebuah janji meski janji itu tidak pernah diucapkan atau ditandatangani. Ketika rezim Soeharto berkuasa, kita menunggu terjadinya angin "keajaiban" sehingga kita bisa keluar dari genggaman rezim otoriter. Setelah dada terasa sesak menunggu, Soeharto berhasil dimundurkan dan datanglah angin reformasi. Kita pun menunggu terjadinya perbaikan. Hingga hidung terasa sengak untuk bernapas karena banyaknya angin, perbaikan rasanya tak kunjung datang jua. Jadi, harus dilakukan perubahan. Maka datanglah angin perubahan. Kita pun menunggu kapan perubahan akan terjadi. Lima tahun ke depan setelah perubahan tak kunjung terasa dan dada kita semakin sesak karena banyaknya angin yang masuk mungkin akan berhembus angin baru yang bernama angin pelurusan. Alhasil? Ya, kita akan dengan setia menunggu meski kita tahu apa yang kita tunggu itu adalah angin.
Kita adalah bangsa yang menanti. Sadar atau tidak, jauh di dalam hati, kita menikmati saat-saat penantian itu sebagaimana kita menikmati angin ketika sedang duduk di tepi pantai. Kita suka mendengar janji-janji, karena di dalam janji-janji itu terkandung sebuah harapan. Kita juga menikmati saat-saat menunggu bukti dari janji-janji itu karena di situ bergulir sebuah ketegangan. Kita akan senantiasa menikmati apapun yang dijanjikan tak perduli apakah janji itu bisa terbukti atau tidak. Dan ketika janji itu memang tidak terbukti, kita akan dengan segera mencari pembenaran agar kita bisa tetap menikmati angin-angin yang baru.
Lalu masih perlukah kita memperdebatkan soal angin sementara kita sendiri menikmati apa yang akan kita perdebatkan?
Saya adalah pendukung SBY-JK bahkan ketika saya yakin janji-janji mereka hanyalah angin. Mengapa? Karena sejak awal saya tidak pernah berharap banyak dari apa yang mereka janjikan. Saya merasa puas sebagai penikmat angin sejati. Saya melihat, masalah angin bukanlah indikator baik-buruknya sebuah pemerintahan. Mereka adalah baik dan kita masyarakat sama baiknya dengan mereka. Mereka adalah sebuah konfigurasi dari struktur pembuat janji yang baik dan kita adalah masyarakat yang tersusun atas unsur-unsur pendengar janji yang baik. Jadi tak usahlah kita terlalu berharap mereka akan menepati janji mereka persis sama seperti apa yang mereka katakan saat kampanye dulu. Di bidang ini mungkin mereka sama buruknya dengan kita. Mereka buruk dalam menepati janji dan kita buruk dalam menuntut janji. Dari pada berdebat berkepanjangan, bukankah akan lebih baik kita menikmati angin?
Salam,
Rudy S. Pontoh
rudypontoh@gmail.com
CATATAN: Tulisan ini saya tulis kembali berdasarkan tulisan saya sebelumnya dengan judul yang sama yang saya buat atas permintaan Jurnal Madani pada awal pemerintahan SBY-JK
Ucapan Terima Kasih Khusus dari Penerbit Buku ini untuk MODERATOR dan AKTIVIS milis
“Terima kasih khusus kami ucapkan kepada MODERATOR dan AKTIVIS milis (mailing list) di bawah ini yang telah banyak membantu upaya menerbitkan kembali buku ini:
agromania, bacayo, bandung_pusatbuku, bhinneka_tunggal_ika, bmmi, buku-islam, bukukita, cfbe (centre for the betterment of education), cikeas, dastanbooks, dikmenjur, diskusi-pembebasan, ebookmaniak, ekonomi-islami, eramuslim, escaevabookclub, indonesia-online, indotalks, info_madani, islamic_discussion_via_internet, jaker, jardiknas, jelajahbudaya, junior_trader, jurnalisme, kajian_lepaskerja, katasibijak, kebumian, kolbu, komunitashistoria, lintaseni, mediacare, media-indonesia, milis-kammi, mobilemaniak, nasional-list, pakguruonline, pantau-komunitas, pasarbuku, pendidikan, penulislepas, ppiindia, proletar, referensi_maya, relasimania, resensibuku, rezaervani, sukasukamu, sulteng, tauziyah, tou-kawanua, wanita-muslimah, wartawanindonesia, yok_bacabuku, zamanku.”
agromania, bacayo, bandung_pusatbuku, bhinneka_tunggal_ika, bmmi, buku-islam, bukukita, cfbe (centre for the betterment of education), cikeas, dastanbooks, dikmenjur, diskusi-pembebasan, ebookmaniak, ekonomi-islami, eramuslim, escaevabookclub, indonesia-online, indotalks, info_madani, islamic_discussion_via_internet, jaker, jardiknas, jelajahbudaya, junior_trader, jurnalisme, kajian_lepaskerja, katasibijak, kebumian, kolbu, komunitashistoria, lintaseni, mediacare, media-indonesia, milis-kammi, mobilemaniak, nasional-list, pakguruonline, pantau-komunitas, pasarbuku, pendidikan, penulislepas, ppiindia, proletar, referensi_maya, relasimania, resensibuku, rezaervani, sukasukamu, sulteng, tauziyah, tou-kawanua, wanita-muslimah, wartawanindonesia, yok_bacabuku, zamanku.”
Bung Rudy, Saya Ingin…(Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Bung Rudy, saya harap buku Anda ini dapat mengajarkan guru dan anak didik tentang kejujuran, sehingga guru tidak lagi disalahkan karena banyak melahirkan pejabat yang korup. Pejabat pasti pernah sekolah, Anda pasti sekolah. Mereka, Anda, dan saya bisa baca tulis dan pintar karena guru. Lalu mengapa begitu banyak orang yang tidak dapat menghargai guru, mengapa berbagai kebijakan yang muncul tidak untuk mensejahterakan guru? Mengapa SBY-JK menjadi lupa akan janji-janji mereka kepada guru?
Saya ingin tulisan Anda dan buku-buku Anda benar-benar menyentuh rasa nasionalisme yang berkepribadian timur dan bertanggung jawab untuk meluruskan moral para pejabat.
Bung Rudy, mungkin Anda akan berpikir apakah saya juga dapat menulis? Saya berani katakan “ya!”. Hanya saja keadaan saya saat ini tidak memungkinkan untuk menulis. Saya adalah mantan guru honorer yang dipandang sebelah mata. Keadaan ekonomi saya morat-marit: rumah tak punya, kendaraan tahun 87 (butut) lalu bagaimana saya dapat fokus menulis sehebat Anda jika keadaan saya seperti itu? Cuma, saya selalu dapat memberikan masukan kepada penulis profesional seperti Anda. Saya ingin agar Anda lebih berani mengungkap fakta dan data di negara kita ini demi anak bangsa.
Bung Rudy, saya juga ingin Anda memperjuangkan "dokrin keguruan yang hilang" dengan tidak adanya SPG, SGO dan SMOA. Saya tak percaya dengan guru sekarang yang sarjana namun tidak mengerti doktrin keguruan sehingga tidak memiliki jiwa guru yang sebenarnya. Hal ini juga pernah saya angkat di sebuah milis (mailing list) namun tak ada satu pun yang berani menanggapi.
Di zaman sekarang, banyak guru yang tidak memiliki jiwa keguruan. Mereka jadi guru bukan karena panggilan hati melainkan karena terpaksa (daripada nganggur). Sekarang ini banyak yang jadi guru harus pakai duit. Untuk naik pangkat, mereka juga harus rajin ngirim upeti. Saya yakin sebenarnya Anda tahu hal ini. Saya harap Anda bisa membuat buku tentang ini dan saya akan membantu Anda menunjukkan fakta-fakta.
Bung Rudy, saya tidak mau lagi menunggu janji-janji, berharap realisasi janji-janji dari siapapun bahkan dari orang nomor satu di republik ini. Saya hanya ingin Anda membangkitkan rakyat melalui tulisan-tulisan Anda, membangkitkan para guru, dan para guru akan membangkitkan anak didiknya. Dengan begitu, saya rasa kehidupan kita akan menjadi lebih baik.
Sutarman
Mantan guru honorer
Balikpapan, Kalimantan Timur
Saya ingin tulisan Anda dan buku-buku Anda benar-benar menyentuh rasa nasionalisme yang berkepribadian timur dan bertanggung jawab untuk meluruskan moral para pejabat.
Bung Rudy, mungkin Anda akan berpikir apakah saya juga dapat menulis? Saya berani katakan “ya!”. Hanya saja keadaan saya saat ini tidak memungkinkan untuk menulis. Saya adalah mantan guru honorer yang dipandang sebelah mata. Keadaan ekonomi saya morat-marit: rumah tak punya, kendaraan tahun 87 (butut) lalu bagaimana saya dapat fokus menulis sehebat Anda jika keadaan saya seperti itu? Cuma, saya selalu dapat memberikan masukan kepada penulis profesional seperti Anda. Saya ingin agar Anda lebih berani mengungkap fakta dan data di negara kita ini demi anak bangsa.
Bung Rudy, saya juga ingin Anda memperjuangkan "dokrin keguruan yang hilang" dengan tidak adanya SPG, SGO dan SMOA. Saya tak percaya dengan guru sekarang yang sarjana namun tidak mengerti doktrin keguruan sehingga tidak memiliki jiwa guru yang sebenarnya. Hal ini juga pernah saya angkat di sebuah milis (mailing list) namun tak ada satu pun yang berani menanggapi.
Di zaman sekarang, banyak guru yang tidak memiliki jiwa keguruan. Mereka jadi guru bukan karena panggilan hati melainkan karena terpaksa (daripada nganggur). Sekarang ini banyak yang jadi guru harus pakai duit. Untuk naik pangkat, mereka juga harus rajin ngirim upeti. Saya yakin sebenarnya Anda tahu hal ini. Saya harap Anda bisa membuat buku tentang ini dan saya akan membantu Anda menunjukkan fakta-fakta.
Bung Rudy, saya tidak mau lagi menunggu janji-janji, berharap realisasi janji-janji dari siapapun bahkan dari orang nomor satu di republik ini. Saya hanya ingin Anda membangkitkan rakyat melalui tulisan-tulisan Anda, membangkitkan para guru, dan para guru akan membangkitkan anak didiknya. Dengan begitu, saya rasa kehidupan kita akan menjadi lebih baik.
Sutarman
Mantan guru honorer
Balikpapan, Kalimantan Timur
Antara Mulut dan Janji (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Mulutmu adalah harimaumu bukanlah isapan jempol belaka. Apalagi bagi mereka yang sedang berkuasa. Mulut adalah salah satu senjata sakti yang bisa membuat mereka terpilih, dielu-elukan, dan disanjung. Namun di sisi lain, mulut juga bisa membuat mereka dibenci, dicibir, didemo, diprotes dan dijatuhkan.
Secara garis besar, ada dua fase inti penggunaan mulut oleh penguasa atau calon penguasa ini. Pertama, fase umbar mulut atau umbar janji yang biasanya dilakukan pada masa kampanye. Kedua, fase berkelit lidah yang berupa upaya-upaya pengingkaran janji yang dilakukan pada masa setelah berkuasa.
Mungkin pada zaman dulu (sebelum masa reformasi) fenomena umbar mulut dan diakhiri berkelit lidah ini merupakan hal yang sangat galib dan tak beresiko apa-apa. Pasalnya, penguasa pada waktu itu begitu berkuasanya sehingga tak ada seorang pun yang bisa mempertanyakan pelaksanaan janji-janji mereka.
Tetapi di zaman sekarang ini, penguasa tak bisa lagi dengan gampang berkelit lidah. Mulut mereka semasa kampanye benar-benar menjelma sebagai harimau mereka yang bisa membuatnya tampak gagah dan disegani bila memegang janji, atau akan tampak garang dan berpotensi memangsa dirinya sendiri bulat-bulat jika janji-janji masa kampanyenya tak ada yang ditepati.
Sayangnya menagih janji penguasa tidaklah mudah. Kebanyakan janji mereka dilontarkan dalam bahasa lisan yang tidak terdokumentasi secara sistematis. Memang liputan-liputan media bisa menjadi sumber dokumentasi. Tapi tak banyak kliping media yang tertata secara sistematis dan gampang diakses. Akibatnya, banyak janji-janji kampanye penguasa yang terlupakan dan terlewat untuk ditagih oleh masyarakat.
Untungnya ada Rudy S Pontoh yang rela bersusah payah untuk mengumpulkan data-data janji penguasa khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) pada satu buku yang gampang dibaca. Hadirnya buku “Janji-janji & Komitmen SBY-JK” ini benar-benar suatu berkah bagi masyarakat Indonesia. Melalui buku ini masyarakat dengan gampang bisa mengevaluasi secara terinci apa yang telah dijanjikan presiden, apa yang telah dipenuhi dan apa yang belum. Benar-benar sebuah buku yang akhirnya dijadikan pegangan oleh para politikus, para pengamat, peneliti, jurnalis, dan semua kalangan yang hidup di negara ini tanpa terkecuali.
Setiap merasakan adanya sebuah ketidakadilan, dengan gampang masyarakat bisa membuka buku ini, melihat apa yang pernah dijanjikan presiden dan akhirnya mempertanyakan apakah janji tersebut sudah dipenuhi? Buku ini benar-benar menjadi buku pedoman bagi seluruh warga Indonesia.
Sepintas memang kehadiran buku ini seperti mengancam gerak langkah SBY-JK, namun kalau dicermati, buku ini pun juga menjadi buku yang sebenarnya menguntungkan bagi sang presiden beserta pembantu-pembantunya. Cukup dengan membaca buku ini, maka SBY-JK dengan gampang bisa melakukan introspeksi, berhati-hati dan menjaga langkah agar tidak terperosok oleh pengingkaran atas janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Dengan begitu hadirnya buku ini justru membantu mereka untuk bisa menjadi pimpinan yang dielu-elukan rakyatnya dengan perwujudan janji-janji mereka yang tertulis di buku ini. Tak perlu mengumbar janji baru. Cukup baca buku ini dan laksanakan janji-janji yang tertulis di dalamnya.
WA Wicaksono
Senior Copywriter Creative Network Communications
Secara garis besar, ada dua fase inti penggunaan mulut oleh penguasa atau calon penguasa ini. Pertama, fase umbar mulut atau umbar janji yang biasanya dilakukan pada masa kampanye. Kedua, fase berkelit lidah yang berupa upaya-upaya pengingkaran janji yang dilakukan pada masa setelah berkuasa.
Mungkin pada zaman dulu (sebelum masa reformasi) fenomena umbar mulut dan diakhiri berkelit lidah ini merupakan hal yang sangat galib dan tak beresiko apa-apa. Pasalnya, penguasa pada waktu itu begitu berkuasanya sehingga tak ada seorang pun yang bisa mempertanyakan pelaksanaan janji-janji mereka.
Tetapi di zaman sekarang ini, penguasa tak bisa lagi dengan gampang berkelit lidah. Mulut mereka semasa kampanye benar-benar menjelma sebagai harimau mereka yang bisa membuatnya tampak gagah dan disegani bila memegang janji, atau akan tampak garang dan berpotensi memangsa dirinya sendiri bulat-bulat jika janji-janji masa kampanyenya tak ada yang ditepati.
Sayangnya menagih janji penguasa tidaklah mudah. Kebanyakan janji mereka dilontarkan dalam bahasa lisan yang tidak terdokumentasi secara sistematis. Memang liputan-liputan media bisa menjadi sumber dokumentasi. Tapi tak banyak kliping media yang tertata secara sistematis dan gampang diakses. Akibatnya, banyak janji-janji kampanye penguasa yang terlupakan dan terlewat untuk ditagih oleh masyarakat.
Untungnya ada Rudy S Pontoh yang rela bersusah payah untuk mengumpulkan data-data janji penguasa khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) pada satu buku yang gampang dibaca. Hadirnya buku “Janji-janji & Komitmen SBY-JK” ini benar-benar suatu berkah bagi masyarakat Indonesia. Melalui buku ini masyarakat dengan gampang bisa mengevaluasi secara terinci apa yang telah dijanjikan presiden, apa yang telah dipenuhi dan apa yang belum. Benar-benar sebuah buku yang akhirnya dijadikan pegangan oleh para politikus, para pengamat, peneliti, jurnalis, dan semua kalangan yang hidup di negara ini tanpa terkecuali.
Setiap merasakan adanya sebuah ketidakadilan, dengan gampang masyarakat bisa membuka buku ini, melihat apa yang pernah dijanjikan presiden dan akhirnya mempertanyakan apakah janji tersebut sudah dipenuhi? Buku ini benar-benar menjadi buku pedoman bagi seluruh warga Indonesia.
Sepintas memang kehadiran buku ini seperti mengancam gerak langkah SBY-JK, namun kalau dicermati, buku ini pun juga menjadi buku yang sebenarnya menguntungkan bagi sang presiden beserta pembantu-pembantunya. Cukup dengan membaca buku ini, maka SBY-JK dengan gampang bisa melakukan introspeksi, berhati-hati dan menjaga langkah agar tidak terperosok oleh pengingkaran atas janji-janji yang pernah mereka ungkapkan sebelumnya. Dengan begitu hadirnya buku ini justru membantu mereka untuk bisa menjadi pimpinan yang dielu-elukan rakyatnya dengan perwujudan janji-janji mereka yang tertulis di buku ini. Tak perlu mengumbar janji baru. Cukup baca buku ini dan laksanakan janji-janji yang tertulis di dalamnya.
WA Wicaksono
Senior Copywriter Creative Network Communications
Saya Tidak Merasakan (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Saya sendiri tidak tahu rinciannya janji-janji politik SBY-JK. Tetapi sebagai buruh pabrik di LG Electronics, saya tidak merasakan dampak peningkatan apapun kecuali hal-hal yang sejak presiden-presiden lalu pun memang sudah secara reguler dilakukan. Misalnya, kenaikan upah setiap tahun yang kisarannya jauh di bawah nilai inflasi.
Yang saya lihat malah kehidupan makin berat, pajak makin tinggi, kendaraan makin tak terbeli, bahan bakar dan listrik serta air makin mahal, pabrik-pabrik elektronik lain tutup atau pindah ke luar negeri. Saya jadi was-was jangan-jangan LG Electronics pindah juga ke Vietnam. Apalagi saat ini, secara berkala selalu ada pengurangan karyawan.
Soal keamanan jangan ditanya deh. Hanya dalam waktu sebulan saya dua kali harus mengelus dada karena barang-barang berharga dan uang disikat maling. Soal kesehatan juga luar biasa, seandainya tidak ada asuransi dari perusahaan (ini banyak dialami kawan-kawan yang dari “out sourcing”) rasanya setengah penghasilan harus disisihkan untuk berobat saya dan keluarga karena luar biasa mahalnya pelayanan kesehatan. Kalau setengah penghasilan disisihkan, artinya dalam sehari hanya boleh makan satu setengah kali, betapa “puasa”nya.
Bidang pendidikan sudah lumayan, lumayan bikin pusing tak karuan. Anak saya di SD Negeri, SPP sih memang gratis, tapi lain-lainnya….woooww..geleng-geleng kepala deh. Uang buku ratusan ribu, alat kebersihan, ekstra kurikuler, berenang, ini, itu, eta, itu…. Hiks..
Politik luar negeri…??? Hehehehe…. Saya sih lihat kenyataan jadi kacung di negeri sendiri, jadi jongos di luar negeri. Hampir semua barang produksi pemilik perusahaannya orang luar negeri, cari jarum made in Indonesia aja susahnya bukan main. Dikentutin Malaysia dan Singapura malah tertawa.. halaaah...
Pemberantasan korupsi..?? hehehe... buruh pabrik kaya saya taunya apa....?
Kalau mau berubah total, Indonesia ini harus dibalik dulu, kepulauannya jadi lautan, lautannya jadi daratan baru. Atau, musnahkan spesies manusia Endonesa dari tiga generasi, biarlah yang sekarang masih bayi dididik yang bener oleh peri gigi. (seramnya…)
Kalau 2009 masih orang-orang ini juga di jabatan publik…. saya tak tahu harus ngomong apa lagi.
Sopian
R & D – AV, LG Electronics Indonesia
Cikarang Barat, Bekasi 17520
Yang saya lihat malah kehidupan makin berat, pajak makin tinggi, kendaraan makin tak terbeli, bahan bakar dan listrik serta air makin mahal, pabrik-pabrik elektronik lain tutup atau pindah ke luar negeri. Saya jadi was-was jangan-jangan LG Electronics pindah juga ke Vietnam. Apalagi saat ini, secara berkala selalu ada pengurangan karyawan.
Soal keamanan jangan ditanya deh. Hanya dalam waktu sebulan saya dua kali harus mengelus dada karena barang-barang berharga dan uang disikat maling. Soal kesehatan juga luar biasa, seandainya tidak ada asuransi dari perusahaan (ini banyak dialami kawan-kawan yang dari “out sourcing”) rasanya setengah penghasilan harus disisihkan untuk berobat saya dan keluarga karena luar biasa mahalnya pelayanan kesehatan. Kalau setengah penghasilan disisihkan, artinya dalam sehari hanya boleh makan satu setengah kali, betapa “puasa”nya.
Bidang pendidikan sudah lumayan, lumayan bikin pusing tak karuan. Anak saya di SD Negeri, SPP sih memang gratis, tapi lain-lainnya….woooww..geleng-geleng kepala deh. Uang buku ratusan ribu, alat kebersihan, ekstra kurikuler, berenang, ini, itu, eta, itu…. Hiks..
Politik luar negeri…??? Hehehehe…. Saya sih lihat kenyataan jadi kacung di negeri sendiri, jadi jongos di luar negeri. Hampir semua barang produksi pemilik perusahaannya orang luar negeri, cari jarum made in Indonesia aja susahnya bukan main. Dikentutin Malaysia dan Singapura malah tertawa.. halaaah...
Pemberantasan korupsi..?? hehehe... buruh pabrik kaya saya taunya apa....?
Kalau mau berubah total, Indonesia ini harus dibalik dulu, kepulauannya jadi lautan, lautannya jadi daratan baru. Atau, musnahkan spesies manusia Endonesa dari tiga generasi, biarlah yang sekarang masih bayi dididik yang bener oleh peri gigi. (seramnya…)
Kalau 2009 masih orang-orang ini juga di jabatan publik…. saya tak tahu harus ngomong apa lagi.
Sopian
R & D – AV, LG Electronics Indonesia
Cikarang Barat, Bekasi 17520
Mari Menakar (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Mencatat janji dan komitmen seorang pemimpin tentu saja banyak dilakukan orang. Sama halnya dengan menagih janji dan komitmen itu sendiri. Tetapi membukukannya secara tertulis mungkin hanya sedikit dari tidak banyak dilakukan orang. Salah satu di antaranya, dilakukan Rudy S Pontoh melalui bukunya Janji-janji dan Komitmen SBY-JK yang cetakan pertamanya dirilis Desember 2004.
Dokumentasi tertulis seperti buku ini sangat penting untuk memudahkan kita menakar keberhasilan seorang pemimpin menunaikan janjinya. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah menakar seberapa besar dan banyak janji sang pemimpin itu mampu dipenuhi. Cara ini, merupakan salah satu bentuk akses untuk menagih akuntabilitas seorang pemimpin ke depan.
Jika menilik isi buku Jankomit (Janji-janji dan Komitmen) SBY-JK, banyak sekali yang harus dibayar duet ini untuk mewujudkan janji-janjinya. Baru setahun memangku jabatan, SBY-JK memang dihadapkan kepada musibah yang luar biasa, yakni Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyita dan menumpahkan hampir seluruh perhatian republik. Musibah dan bencana demi bencana pun muncul seolah susul menyusul. Dari Aceh ke Yogya, hingga munculnya musibah lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Para pengeritik SBY-JK tetap menuntut jankomit mereka, walau ada kejadian luar biasa yang harus mereka beri perhatian. Saya mengibaratkan, kedua pemimpin ini melayarkan ‘’kapal republik’’ di tengah gempuran gelombang besar kiri kanan. Menjaga jangan sampai kapal mogok hingga ke tujuan. Meski keduanya harus mengganti beberapa kelasi yang dianggap bermasalah dan susah menyesuaikan irama pekerjaan sang nakoda.
Kita tidak menafikan bahwa selama memimpin bangsa ini, SBY-JK terkadang sering dibenturkan. Ada-ada saja pihak yang menilai keduanya tidak akur. Tidak kompak. Jalan sendiri. Seolah-olah keduanya mulai pasang kuda-kuda sendiri. Belum lagi, beberapa kelompok di luar organisasi pemerintahan sudah mulai melakukan manuver.
Tiga tahun sudah berlalu. Saatnya kita menagih dan menakar jankomit SBY-JK. Secara kasat mata, jankomit SBY-JK yang menguat menjadi wacana publik adalah pemberantasan korupsi. Saya tidak punya data resmi berapa banyak di antara kasus korupsi yang ada sudah tuntas di pengadilan. Tetapi ada geliat yang nyata untuk memberantas korupsi, koneksi, dan nepotisme (KKN). Buktinya adalah pemerintah membentuk beberapa institusi yang memberantas KKN. Saking banyaknya lembaga yang menangani korupsi ini ada kesan tugas dan wewenang lembaga tersebut tumpang tindih.
Bukti lain dalam penegakan hukum, Presiden SBY juga mengganti pejabat Jaksa Agung, beberapa menteri, dan pembantunya. Ini menunjukkan komitmen yang besar terhadap perbaikan roda pemerintahan, meski sulit menutup kesan adanya istilah ‘bongkar pasang’ kabinet yang berujung kepada kurangnya konsistensi dalam kesinambungan program menteri yang bersangkutan.
Saya kira, memasuki tahun keempat masa pemerintahannya, ada baiknya kita mulai menakar seberapa jauh jankomit kedua pemimpin bangsa mampu dipenuhi. Buku Bung Rudy dalam edisi kedua ini ada baiknya juga menakar sejumlah janji yang mampu dipenuhi SBY-JK, sehingga dapat menjadi acuan bagi publik untuk menagihnya.
M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas
Makassar
Dokumentasi tertulis seperti buku ini sangat penting untuk memudahkan kita menakar keberhasilan seorang pemimpin menunaikan janjinya. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah menakar seberapa besar dan banyak janji sang pemimpin itu mampu dipenuhi. Cara ini, merupakan salah satu bentuk akses untuk menagih akuntabilitas seorang pemimpin ke depan.
Jika menilik isi buku Jankomit (Janji-janji dan Komitmen) SBY-JK, banyak sekali yang harus dibayar duet ini untuk mewujudkan janji-janjinya. Baru setahun memangku jabatan, SBY-JK memang dihadapkan kepada musibah yang luar biasa, yakni Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyita dan menumpahkan hampir seluruh perhatian republik. Musibah dan bencana demi bencana pun muncul seolah susul menyusul. Dari Aceh ke Yogya, hingga munculnya musibah lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Para pengeritik SBY-JK tetap menuntut jankomit mereka, walau ada kejadian luar biasa yang harus mereka beri perhatian. Saya mengibaratkan, kedua pemimpin ini melayarkan ‘’kapal republik’’ di tengah gempuran gelombang besar kiri kanan. Menjaga jangan sampai kapal mogok hingga ke tujuan. Meski keduanya harus mengganti beberapa kelasi yang dianggap bermasalah dan susah menyesuaikan irama pekerjaan sang nakoda.
Kita tidak menafikan bahwa selama memimpin bangsa ini, SBY-JK terkadang sering dibenturkan. Ada-ada saja pihak yang menilai keduanya tidak akur. Tidak kompak. Jalan sendiri. Seolah-olah keduanya mulai pasang kuda-kuda sendiri. Belum lagi, beberapa kelompok di luar organisasi pemerintahan sudah mulai melakukan manuver.
Tiga tahun sudah berlalu. Saatnya kita menagih dan menakar jankomit SBY-JK. Secara kasat mata, jankomit SBY-JK yang menguat menjadi wacana publik adalah pemberantasan korupsi. Saya tidak punya data resmi berapa banyak di antara kasus korupsi yang ada sudah tuntas di pengadilan. Tetapi ada geliat yang nyata untuk memberantas korupsi, koneksi, dan nepotisme (KKN). Buktinya adalah pemerintah membentuk beberapa institusi yang memberantas KKN. Saking banyaknya lembaga yang menangani korupsi ini ada kesan tugas dan wewenang lembaga tersebut tumpang tindih.
Bukti lain dalam penegakan hukum, Presiden SBY juga mengganti pejabat Jaksa Agung, beberapa menteri, dan pembantunya. Ini menunjukkan komitmen yang besar terhadap perbaikan roda pemerintahan, meski sulit menutup kesan adanya istilah ‘bongkar pasang’ kabinet yang berujung kepada kurangnya konsistensi dalam kesinambungan program menteri yang bersangkutan.
Saya kira, memasuki tahun keempat masa pemerintahannya, ada baiknya kita mulai menakar seberapa jauh jankomit kedua pemimpin bangsa mampu dipenuhi. Buku Bung Rudy dalam edisi kedua ini ada baiknya juga menakar sejumlah janji yang mampu dipenuhi SBY-JK, sehingga dapat menjadi acuan bagi publik untuk menagihnya.
M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas
Makassar
Perpustakaan, Kebudayaan, Komposisi Kabinet (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Janji SBY-JK mendorong anak didik untuk membaca dan memperkaya perpustakaan masih jauh dari harapan rakyat Indonesia. Meskipun UU Perpustakaan sudah disahkan, buktinya kondisi perpustakaan sekolah khususnya perpustakaan sekolah negeri dan perpustakaan umum di setiap daerah saat ini sangat mengenaskan. Padahal perpustakaan adalah pondasi dari pendidikan, meminjam kalimat dari sebuah iklan, Tanya Kenapa?
Komitmen SBY-JK untuk mengembangkan kebudayaan dianggap gagal, banyak hasil dan karya Indonesia dijiplak/diklaim oleh negara lain. Pemerintah Indonesia juga diangap gagal karena tidak dapat mengontrol budaya ketimuran, dalam hal ini masalah konten acara televisi yang kebanyakan merusak budaya ketimuran.
Ada beberapa kesalahan komposisi kabinet yang dilakukan SBY-JK, diantaranya pemilihan Prof. Dr. Meutia Farida Hatta-Swasono sebagai Meneg Pemberdayaan Perempuan bukannya sebagai Menteri Pariwisata & Kebudayaan. Disamping itu, terlalu eksklusif-nya Presiden Yudhoyono dalam hal humas kepresidenan dengan mempekerjakan dua jubir kepresidenan dan satu sekretaris kabinet.
Ardian Arda
Sekretaris Umum
DPD I HMPII (Himpunan Mahasiswa Perpustakaan & Informasi Indonesia)
Komitmen SBY-JK untuk mengembangkan kebudayaan dianggap gagal, banyak hasil dan karya Indonesia dijiplak/diklaim oleh negara lain. Pemerintah Indonesia juga diangap gagal karena tidak dapat mengontrol budaya ketimuran, dalam hal ini masalah konten acara televisi yang kebanyakan merusak budaya ketimuran.
Ada beberapa kesalahan komposisi kabinet yang dilakukan SBY-JK, diantaranya pemilihan Prof. Dr. Meutia Farida Hatta-Swasono sebagai Meneg Pemberdayaan Perempuan bukannya sebagai Menteri Pariwisata & Kebudayaan. Disamping itu, terlalu eksklusif-nya Presiden Yudhoyono dalam hal humas kepresidenan dengan mempekerjakan dua jubir kepresidenan dan satu sekretaris kabinet.
Ardian Arda
Sekretaris Umum
DPD I HMPII (Himpunan Mahasiswa Perpustakaan & Informasi Indonesia)
Narkoba dan Kejahatan Jalanan (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Buku ini memuat janji SBY-JK mengenai prioritas pemberantasan narkoba dan kejahatan jalanan. Janji tersebut sudah terlaksana dengan baik namun belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ada perbedaan antara hasil dan pandangan masyarakat. Data menunjukkan adanya kenaikan yang tinggi angka pengguna narkoba. Penyuplainya meningkat, narkoba jadi mudah diperoleh di mana-mana sementara masyarakat semakin “masabodo”.
Menurut saya, SBY-JK akan sulit memenuhi janji-janjinya memberantas penggunaan narkoba jika sebentar-sebentar pejabat yang menanganinya diganti. Sindikat narkoba umumnya menjadi kuat setelah beroperasi di atas 5 tahun dengan tingkat solidaritas dan kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggotanya. Sindikat semacam ini hanya bisa dilawan oleh organisasi yang juga solidaritas dan kepercayaan di antara sesama anggotanya sudah lebih dari 5 tahun. Jika sebentar-sebentar orang yang menanganinya diganti, pemberantasan pun akan tidak maksimal.
Mungkin ada baiknya juga bila BNN (Badan Narkotika Nasional) menjadi semacam LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) yang independen dan langsung di bawah Presiden, tidak dalam bayangan Polri atau departemen manapun, seperti KPK. Semoga apa yang saya sarankan ini bisa bermanfaat.
Dr. Anwar Wardy W, Sp.S, DFM
Badan Narkotika Nasional
Jakarta
Menurut saya, SBY-JK akan sulit memenuhi janji-janjinya memberantas penggunaan narkoba jika sebentar-sebentar pejabat yang menanganinya diganti. Sindikat narkoba umumnya menjadi kuat setelah beroperasi di atas 5 tahun dengan tingkat solidaritas dan kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggotanya. Sindikat semacam ini hanya bisa dilawan oleh organisasi yang juga solidaritas dan kepercayaan di antara sesama anggotanya sudah lebih dari 5 tahun. Jika sebentar-sebentar orang yang menanganinya diganti, pemberantasan pun akan tidak maksimal.
Mungkin ada baiknya juga bila BNN (Badan Narkotika Nasional) menjadi semacam LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) yang independen dan langsung di bawah Presiden, tidak dalam bayangan Polri atau departemen manapun, seperti KPK. Semoga apa yang saya sarankan ini bisa bermanfaat.
Dr. Anwar Wardy W, Sp.S, DFM
Badan Narkotika Nasional
Jakarta
Tidak Perlu Teramat Kecewa (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Di Indonesia, janji-janji kampanye politik sejatinya bukanlah komitmen yang bisa ditagih. Lebih banyak omong kosong untuk menarik simpati masyarakat. Bukankah kata-kata politisi itu sulit dipegang? Salah kalau rakyat terlalu mengingat janji-janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sejak awal saya melihat SBY ini berkarakter lembek. Tidak bisa tegas, selalu bimbang, bukan tipe get things done. Karena terlalu banyak perhitungan, keputusannya tidak bisa cepat dan tepat. Ingat bagaimana alotnya SBY bikin kabinet. Ingat bagaimana susahnya dia mengganti menteri.
Ingat kasus lumpur lapindo di Sidoarjo yang berlarut-larut, sehingga 20.000 orang kehilangan rumah dan tempat tinggal. Andai saja bulan September atau Oktober 2006 SBY dengan tegas menyatakan lumpur dibuang ke Kali Porong, maka bencana lumpur panas tidak sedahsyat sekarang.
SBY juga lemah di manajemen. Lihat saja di lumpur lapindo. Seharusnya menteri-menteri koordinator atau menteri senior bisa menuntaskan itu tanpa harus SBY berkantor di Lanudal Juanda, Sidoarjo, selama tiga hari. Tapi, sekali lagi, SBY ini tidak berani dengan Aburizal Bakrie, menko kesra, yang erat kaitannya dengan Lapindo Brantas Inc.
Lha, kalau setiap ada masalah presiden turun langsung, apa gunanya menteri-menteri yang banyak itu? Manajer kan mestinya hanya koordinasi saja, tidak perlu terlibat dalam urusan remeh-temeh. Payah manajemen SBY!
Tapi ini bisa dimaklumi karena secara politis SBY sangat lemah. Ia dikelilingi oleh menteri-menteri berlatar belakang politisi, yang nota bene, rivalnya.SBY tahu Partai Demokrat masih kecil sehingga dia perlu menjaga kelangsungan kekuasaannya dengan memelihara banyak menteri yang sebenarnya tidak kapabel.
Dari sini saja, siapa pun maklum mengapa SBY sulit sekali menunaikan janji-janji kampanye pada 2004. Kita, bangsa Indonesia, tidak perlu teramat kecewa karena politik di Indonesia masih dalam taraf segitu. Rakyat harus lebih kritis, tidak terpukau oleh trik-trik kampanye ala pesolek politik.
Lambertus L. Hurek
Redaksi Berita di Radar Surabaya
Sejak awal saya melihat SBY ini berkarakter lembek. Tidak bisa tegas, selalu bimbang, bukan tipe get things done. Karena terlalu banyak perhitungan, keputusannya tidak bisa cepat dan tepat. Ingat bagaimana alotnya SBY bikin kabinet. Ingat bagaimana susahnya dia mengganti menteri.
Ingat kasus lumpur lapindo di Sidoarjo yang berlarut-larut, sehingga 20.000 orang kehilangan rumah dan tempat tinggal. Andai saja bulan September atau Oktober 2006 SBY dengan tegas menyatakan lumpur dibuang ke Kali Porong, maka bencana lumpur panas tidak sedahsyat sekarang.
SBY juga lemah di manajemen. Lihat saja di lumpur lapindo. Seharusnya menteri-menteri koordinator atau menteri senior bisa menuntaskan itu tanpa harus SBY berkantor di Lanudal Juanda, Sidoarjo, selama tiga hari. Tapi, sekali lagi, SBY ini tidak berani dengan Aburizal Bakrie, menko kesra, yang erat kaitannya dengan Lapindo Brantas Inc.
Lha, kalau setiap ada masalah presiden turun langsung, apa gunanya menteri-menteri yang banyak itu? Manajer kan mestinya hanya koordinasi saja, tidak perlu terlibat dalam urusan remeh-temeh. Payah manajemen SBY!
Tapi ini bisa dimaklumi karena secara politis SBY sangat lemah. Ia dikelilingi oleh menteri-menteri berlatar belakang politisi, yang nota bene, rivalnya.SBY tahu Partai Demokrat masih kecil sehingga dia perlu menjaga kelangsungan kekuasaannya dengan memelihara banyak menteri yang sebenarnya tidak kapabel.
Dari sini saja, siapa pun maklum mengapa SBY sulit sekali menunaikan janji-janji kampanye pada 2004. Kita, bangsa Indonesia, tidak perlu teramat kecewa karena politik di Indonesia masih dalam taraf segitu. Rakyat harus lebih kritis, tidak terpukau oleh trik-trik kampanye ala pesolek politik.
Lambertus L. Hurek
Redaksi Berita di Radar Surabaya
Cambuk Bagi Penegak Hukum (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Perang terhadap korupsi sudah dikumandangkan oleh SBY-JK. Secara kuantitas, penyelesaian tindak pidana korupsi semakin meningkat, penyelamatan uang negara semakin bertambah. Bagi warga masyarakat kinerja aparat penegak hukum mungkin dianggap masih memble. Tapi kita harus fair melihat kenyataan yang ada di lapangan bahwa janji-janji SBY-JK tidak hanya manis di bibir saja.
Kalau toh ada yang merasa kurang puas, itu menjadi semacam cambuk bagi penegak hukum untuk bekerja lebih baik lagi , atau bisa juga hanya konsekwensi politik untuk mengkritisi terhadap kinerja SBY-JK. Penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tidak semudah membalikkan tangan. Apalagi jika calon tersangkanya pejabat pemerintahan dimana kasusnya sudah terjadi beberapa tahun yang lewat, sehingga penegak hukum kesulitan dalam mencari alat bukti maupun barang bukti.
Semoga dengan akan munculnya rancangan KUHAP yang baru, akan semakin memudahkan penegak hukum dalam mencari alat bukti terhadap penyelesaian perkara tindak pidana korupsi .
Abd. Farid, SH
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Cikarang
Bekasi
Kalau toh ada yang merasa kurang puas, itu menjadi semacam cambuk bagi penegak hukum untuk bekerja lebih baik lagi , atau bisa juga hanya konsekwensi politik untuk mengkritisi terhadap kinerja SBY-JK. Penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tidak semudah membalikkan tangan. Apalagi jika calon tersangkanya pejabat pemerintahan dimana kasusnya sudah terjadi beberapa tahun yang lewat, sehingga penegak hukum kesulitan dalam mencari alat bukti maupun barang bukti.
Semoga dengan akan munculnya rancangan KUHAP yang baru, akan semakin memudahkan penegak hukum dalam mencari alat bukti terhadap penyelesaian perkara tindak pidana korupsi .
Abd. Farid, SH
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Cikarang
Bekasi
Janji dan Komitmen Sang Presiden (Resensi Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 1)
Judul: Janji-Janji & Komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti
Penulis: Rudy S. Pontoh
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Tebal: xii + 178 halaman
Cetakan: I, Desember 2004
Selama masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla begitu banyak mengumbar janji dan komitmen kepada rakyat. Apa saja janji dan komitmen mereka dan sejauh mana realisasinya?
"Saya setuju jika janji-janji calon presiden dan calon wakil presiden dicatat, agar jika terpilih nanti, masyarakat bisa menagihnya." Demikianlah ucapan Jusuf Kalla saat berbicara di depan peserta Rakernas Badan Diklat Srondol Semarang, 17 Juni 2004.
Tampaknya ucapan itu menginspirasi Rudy S. Pontoh untuk menghimpun setiap kata-kata mengandung janji dan komitmen, oleh penulis buku ini disingkat dengan jankomit, yang pernah dilontarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) selama masa persiapan kampanye hingga usai pelantikannya sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Untuk keperluan pengumpulan jankomit itu, penulis melacak pemberitaan sejumlah media massa sepanjang kurun waktu Mei hingga Oktober 2004. Hasilnya? Ada ribuan jankomit yang dikemukakan duet calon presiden dan calon wakil presiden ini tatkala mempromosikan dirinya, baik secara berpasangan maupun terpisah.
Secara kuantitatif, hal itu tidak mengherankan. Bayangkan saja bila dalam setiap pertemuan yang mereka hadiri-yang acap kali dijadikan ajang kampanye-ada sekitar satu hingga tiga jankomit yang terlontar. Nah, untuk perhelatan akbar berskala nasional semacam ini, misalkan ada 1.000 kegiatan, tak ayal ada 1.000 hingga 3.000 jankomit yang keluar dari mulut mereka. Jadi sekali lagi, jumlah itu tidak mengejutkan.
Melontarkan janji dan komitmen sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam kampanye. Justru jika tidak ada gembar-gembor seperti itu, kampanye terasa kurang panas. Tidak heran jika jankomit menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di negeri ini.
Namun, zaman sudah berubah. Meski teknik pemberian jankomit belum berubah, setidaknya rakyat sebagai pendengarnya sudah. Mereka tidak mau berpangku tangan, sekedar berdiam diri menunggu realisasi janji.
Terobosan baru itu a.l. ditempuh penulis dengan cara merangkum semua jankomit ke dalam sebuah buku, sehingga siapa pun akhirnya bisa menyimak jankomit itu. Kealpaan manusia sebagai makhluk yang bisa dan cepat lupa, menjadi terbantu dengan kehadiran buku ini sebagai pengingat setia.
Secara cermat penulis pun memilah dan memilih ribuan jankomit itu untuk kemudian menggolongkannya ke dalam sejumlah kategori. Klasifikasi ini memudahkan pembaca dalam menemukan jankomit berdasarkan aspek permasalahan, dari soal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, penegakan hukum, budaya dan seni, kebebasan pers, bisnis dan usaha, hingga kabinet dan agenda kerjanya.
Penulis pun dengan rinci memberi catatan di bawah setiap jankomit. Catatan itu menerangkan siapa yang mengutarakan jankomit tersebut, pada forum apa, di mana dan kapan. Dengan begitu kita semua bisa mengkroscek apa-apa saja jankomit mereka dan bagaimana realisasinya di kemudian hari.
Penggolongan jankomit secara lisan yang dilakukan SBY dan JK selama kampanye bisa pembaca simak pada bagian pertama buku ini. Sedangkan jankomit yang termaktub dalam visi misi kepemimpinan terdapat pada bagian kedua.
Sementara untuk melihat signifikansi perubahan yang terjadi, membandingkan antara sebelum dan sesudah pasangan itu menjabat, penulis memuat sejumlah data dan angka sebagai indikator janji pada bagian ketiga. Pada bagian terakhir penulis memuat sejumlah harapan dan opini khalayak yang masuk lewat komunikasi di dunia maya.
Pemenuhan jankomit
Dalam 100 hari masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, bentukan SBY dan JK, sudah ada beberapa hal yang terpenuhi a.l. kuota empat orang menteri perempuan serta pelibatan putra Papua dalam kabinet. Namun, ada pula yang mengabaikan jankomit awal, di antaranya pengangkatan menteri BUMN yang partisan.
Padahal sebelumnya SBY berjanji akan mengisi jabatan Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Menteri BUMN dengan orang profesional nonpartisan. Alasannya kala itu "Agar tidak mengganggu kinerja mereka. Andai orang jujur pun mengisi jabatan itu, kalau dia partisan, dia akan dianggap memihak pada politik-politik tertentu."
Namun, apa mau dikata, SBY mengingkari ucapannya itu. Jabatan Menteri Negara BUMN justru diduduki wakil dari partai, alias partisan. Bukan itu saja, masih ada lagi tindakan SBY yang mencengangkan para pemilihnya. Di antaranya soal kebijakan menaikkan BBM dan menambah komitmen utang dengan mengatas namakan bencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Apakah janji tinggal janji belaka? Jikalau pemimpin tidak mendengarkan aspirasi rakyat, peranan rakyat untuk mengingatkan pemimpin yang melenceng tidak akan berjalan dengan baik. Hanya waktu yang bisa menjawab bagaimana janji itu terealisasi nantinya.
Kita cuma bisa berharap semoga jankomit SBY-JK itu bukan sekedar janji belaka. Bukankah janji adalah utang? Tetapi, jangan-jangan rakyat yang terlalu berlebihan mempercayai perkataan mereka sebagai janji. Pasalnya, SBY pernah bilang, "Kami tidak suka berjanji, apalagi berjanji tentang hal yang saya tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami tulis dan serahkan kepada KPU."
"Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami pikirkan secara matang, dan hanya seingat-ingatnya saja. Sesuatu yang semua kita tahu pasti tidak melahirkan manfaat, malah sebaliknya melahirkan ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan yang dapat membuat rakyat bingung, tetapi tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya."
Pudji Lestari
Kontributor Bisnis Indonesia
SUMBER : Bisnis Indonesia Minggu, 06-FEB-2005
Penulis: Rudy S. Pontoh
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Tebal: xii + 178 halaman
Cetakan: I, Desember 2004
Selama masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla begitu banyak mengumbar janji dan komitmen kepada rakyat. Apa saja janji dan komitmen mereka dan sejauh mana realisasinya?
"Saya setuju jika janji-janji calon presiden dan calon wakil presiden dicatat, agar jika terpilih nanti, masyarakat bisa menagihnya." Demikianlah ucapan Jusuf Kalla saat berbicara di depan peserta Rakernas Badan Diklat Srondol Semarang, 17 Juni 2004.
Tampaknya ucapan itu menginspirasi Rudy S. Pontoh untuk menghimpun setiap kata-kata mengandung janji dan komitmen, oleh penulis buku ini disingkat dengan jankomit, yang pernah dilontarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) selama masa persiapan kampanye hingga usai pelantikannya sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Untuk keperluan pengumpulan jankomit itu, penulis melacak pemberitaan sejumlah media massa sepanjang kurun waktu Mei hingga Oktober 2004. Hasilnya? Ada ribuan jankomit yang dikemukakan duet calon presiden dan calon wakil presiden ini tatkala mempromosikan dirinya, baik secara berpasangan maupun terpisah.
Secara kuantitatif, hal itu tidak mengherankan. Bayangkan saja bila dalam setiap pertemuan yang mereka hadiri-yang acap kali dijadikan ajang kampanye-ada sekitar satu hingga tiga jankomit yang terlontar. Nah, untuk perhelatan akbar berskala nasional semacam ini, misalkan ada 1.000 kegiatan, tak ayal ada 1.000 hingga 3.000 jankomit yang keluar dari mulut mereka. Jadi sekali lagi, jumlah itu tidak mengejutkan.
Melontarkan janji dan komitmen sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam kampanye. Justru jika tidak ada gembar-gembor seperti itu, kampanye terasa kurang panas. Tidak heran jika jankomit menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di negeri ini.
Namun, zaman sudah berubah. Meski teknik pemberian jankomit belum berubah, setidaknya rakyat sebagai pendengarnya sudah. Mereka tidak mau berpangku tangan, sekedar berdiam diri menunggu realisasi janji.
Terobosan baru itu a.l. ditempuh penulis dengan cara merangkum semua jankomit ke dalam sebuah buku, sehingga siapa pun akhirnya bisa menyimak jankomit itu. Kealpaan manusia sebagai makhluk yang bisa dan cepat lupa, menjadi terbantu dengan kehadiran buku ini sebagai pengingat setia.
Secara cermat penulis pun memilah dan memilih ribuan jankomit itu untuk kemudian menggolongkannya ke dalam sejumlah kategori. Klasifikasi ini memudahkan pembaca dalam menemukan jankomit berdasarkan aspek permasalahan, dari soal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, penegakan hukum, budaya dan seni, kebebasan pers, bisnis dan usaha, hingga kabinet dan agenda kerjanya.
Penulis pun dengan rinci memberi catatan di bawah setiap jankomit. Catatan itu menerangkan siapa yang mengutarakan jankomit tersebut, pada forum apa, di mana dan kapan. Dengan begitu kita semua bisa mengkroscek apa-apa saja jankomit mereka dan bagaimana realisasinya di kemudian hari.
Penggolongan jankomit secara lisan yang dilakukan SBY dan JK selama kampanye bisa pembaca simak pada bagian pertama buku ini. Sedangkan jankomit yang termaktub dalam visi misi kepemimpinan terdapat pada bagian kedua.
Sementara untuk melihat signifikansi perubahan yang terjadi, membandingkan antara sebelum dan sesudah pasangan itu menjabat, penulis memuat sejumlah data dan angka sebagai indikator janji pada bagian ketiga. Pada bagian terakhir penulis memuat sejumlah harapan dan opini khalayak yang masuk lewat komunikasi di dunia maya.
Pemenuhan jankomit
Dalam 100 hari masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, bentukan SBY dan JK, sudah ada beberapa hal yang terpenuhi a.l. kuota empat orang menteri perempuan serta pelibatan putra Papua dalam kabinet. Namun, ada pula yang mengabaikan jankomit awal, di antaranya pengangkatan menteri BUMN yang partisan.
Padahal sebelumnya SBY berjanji akan mengisi jabatan Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Menteri BUMN dengan orang profesional nonpartisan. Alasannya kala itu "Agar tidak mengganggu kinerja mereka. Andai orang jujur pun mengisi jabatan itu, kalau dia partisan, dia akan dianggap memihak pada politik-politik tertentu."
Namun, apa mau dikata, SBY mengingkari ucapannya itu. Jabatan Menteri Negara BUMN justru diduduki wakil dari partai, alias partisan. Bukan itu saja, masih ada lagi tindakan SBY yang mencengangkan para pemilihnya. Di antaranya soal kebijakan menaikkan BBM dan menambah komitmen utang dengan mengatas namakan bencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Apakah janji tinggal janji belaka? Jikalau pemimpin tidak mendengarkan aspirasi rakyat, peranan rakyat untuk mengingatkan pemimpin yang melenceng tidak akan berjalan dengan baik. Hanya waktu yang bisa menjawab bagaimana janji itu terealisasi nantinya.
Kita cuma bisa berharap semoga jankomit SBY-JK itu bukan sekedar janji belaka. Bukankah janji adalah utang? Tetapi, jangan-jangan rakyat yang terlalu berlebihan mempercayai perkataan mereka sebagai janji. Pasalnya, SBY pernah bilang, "Kami tidak suka berjanji, apalagi berjanji tentang hal yang saya tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami tulis dan serahkan kepada KPU."
"Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami pikirkan secara matang, dan hanya seingat-ingatnya saja. Sesuatu yang semua kita tahu pasti tidak melahirkan manfaat, malah sebaliknya melahirkan ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan yang dapat membuat rakyat bingung, tetapi tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya."
Pudji Lestari
Kontributor Bisnis Indonesia
SUMBER : Bisnis Indonesia Minggu, 06-FEB-2005
Mencari Indikator Keberhasilan SBY-JK (Resensi Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 1)
Judul : Janji2 dan komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti
Penulis : Rudy S Pontoh
Penerbit : Media Pressindo
Cetakan I : Desember 2004
Halaman : 178 halaman
BUKU ini bisa diibaratkan sebuah kamus acuan untuk mencari kebenaran dari perkataan yang pernah dikatakan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK).
Lebih tepatnya lagi sebagai indikator terbuktinya perkataan mereka sekaligus berhasil tidaknya mereka mewujudkan visi dan misi mereka selama masa kepemimpinannya.
Dari sekian banyak janji dan komitmen (jankomit) yang pernah diucapkan SBY-JK dalam buku ini, sebagian memang telah terbukti, namun tidak sedikit pula yang bertentangan dengan janji dan komitmen (jankomit) mereka, dan yang pasti mereka masih punya PR yang harus diwujudkan sebagai bukti dari ucapan mereka.
Diantaranya, dalam komposisi kabinet mereka memberi empat posisi menteri kepada wanita, ini terbukti. Memilih putra Papua untuk duduk dikabinet juga sesuai janji. Namun memilih menteri BUMN dari kalangan nonpartisan malah tidak terbukti.
Dalam kenyataan yang terpilih adalah seorang partisan salah satu parpol. Selanjutnya, masih ada ratusan jankomit lain menunggu bukti hingga lima tahun ke depan. Penulis bertanya, adakah kita mencatatnya?
Berbekal rasa penasaran plus keinginan untuk menagih atau lebih tepat menunggu janji, penulis menorehkan tinta dalam buku ini berdasar data yang penulis dapatkan dari pelacakan media untuk mendapatkan berita dan informasi apa saja yang berhubungan dengan SBY-JK.
Mulai dari Koran, majalah, radio, bulletin, televisi yang penulis anggap bonafit maupun penelusuran langsung. Dan yang membuat penulis tercengang, hasil pengumpulan data tersebut ternyata mencapat angka ribuan jankomit yang notabenenya utang yang harus dibayar presiden SBY dan wakil presiden JK.
Melalui buku ini, penulis tidak memaparkan semua jankomit, namun yang termuat bisa dikatakan mewakili jankomit lainnya. Maksudnya agar pembaca tidak terlalu banyak ‘makan’ janji.
Sebagai bumbu tambahan, dalam buku ini juga dilengkapi komentar dan opini dari mereka yang menunggu bukti jankomit.
Sementara itu sebagai indikator apakah SBY-JK memenuhi jankomit mereka, pada bagian lain buku ini, penulis menyertakan fakta dan data keadaan Indonesia saat ini, saat jankomit diucapkan.
Lima tahun mendatang bukalah kembali fakta dan data ini. Jika fakta dan data pada saat itu ternyata banyak yang berubah dari fakta dan data dalam buku ini, penulis bisa memastikan SBY-JK telah memenuhi janji-janji perubahan yang selalu mereka dengungkan. Namun, lihat pula arahnya, lebih baik atau sebaliknya?
Ada beberapa point yang diuraikan penulis dalam bukunya, hal ini berkaitan dengan fase perjalanan kepemimpinan SBY-JK yang membawa dirinya sampai ke kursi presiden dan wakil presiden. Sehingga pembaca dapat memahami jelas alur cerita buku ini.
Pada bagian satu, penulis coba memaparkan jankomit SBY-JK dari persiapan kampanye hingga usai pelantikan. Pada bagian kedua, diulas jankomit SBY-JK yang tersirat melalui visi dan misi mereka. Dibagian tiga, penulis membuka data dan angka yang bisa dijadikan sebagai indikator janji, dan dibagian terakhir, bagian keempat, penulis mencoba menceritakan komentar dari mereka yang menunggu realisasi janji.
Pada bagian pertama, ada 25 tema jankomit yang dijabarkan lagi dalam beberapa data dan fakta yang berhasil penulis kumpulkan. Sedang pada bagian dua, terdapat 21 jankomit yang semua dimbuhi awalan ‘me’, artinya sebuah isyarat akan melakukan sebuah pekerjaan.
Dari 25 tema jankomit di atas, contohnya saja dalam hal pemberantasan KKN, SBY pernah berkata dalam acara dialog,’visi dan strategi kebudayaan calon presiden 2004' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin 14 Juni 2004.
Dalam dialog itu SBY berucap, ‘Saya akan mengadakan kontrak politik dengan rakyat dalam menanggulangi pemberantasan korupsi. Satu rupiah pun uang negara harus dipertanggungjawabkan dan diaudit. Pemeriksaan harus transparan. Rakyat harus mengetahui apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan dan apa yang akan dilakukan ke depan’.
Hal lain adalah kepedulian terhadap rakyat. Saat SBY mengadakan silaturrahmi dengan sejumlah ulama dan cendikiawan muslim di Asrama Haji Masyhur, Medan, Jum’at 18 Juni 2004, ia pernah berkata akan memprioritaskan upaya penanggulangan masalah perekonomian bagi masyarakat kalangan bawah.
Ada juga masalah pendidikan, perlindungan dan pemberdayaan perempuan, ketenagakerjaan, keamanan dan pertahanan, pelayanan kesehatan, budaya dan seni, hubungan dan kerjasama Internasional, nelayan dan petani, kebebasan pers dan beberapa hal lain yang dianggap non kategori.
Salah satu poin yang ada dalam non kategori adalah kesiapan presiden untuk tinggal di istana, menurutnya dengan tinggal di istana, pengaturan kegiatan kepresidenan dari pagi hingga malam hari akan lebih mudah, juga memudahkan pengamanan, tamu-tamu mudah ditata, pengeluaran bisa dihemat, agar uangnya bisa diperuntukkan untuk perbaikan fasilitas.
Seperti yang terjadi pada sejarah kepemimpinan sebelumnya. Presiden RI yang pernah tinggal di istana kepresidenan Jakarta hanyalah dua orang.
Mereka adalah Presiden pertama RI, Soekarno dan presiden Abdurrahman Wahid. Sedang presiden Soeharto dan Habibie lebih memilih menetap dikediamannya saat menjabat presiden. Dan Megawati memilih tinggal dirumah dinas kepresidenan.
Pada bagian dua ada beberapa hal yang diuraikan penulis. Diantaranya adalah jankomit meningkatkan saling percaya, mencegah dan menanggulangi separatisme, menegakkan hukum dan ketertiban, mencegah terorisme, meningkatkan kemampuan pertahanan, dan memantapkan politik luar negeri.
Dalam bagian tiga mengenai data dan angka indikator janji, penulis coba memaparkan fakta yang terjadi saat ini.Misalnya, sejak tahun 2002 hingga 2004 ada 100 kasus korupsi yang diajukan kepengadilan. Tapi, jumlah pelaku yang dipenjara bisa dihitung dengan jari.
Data dan fakta ini bisa dijadikan indikator, jika memang ada perubahan melebihi angka 50 persen ke arah yang lebih baik, bisa diartikan SBY-JK telah memenuhi jankomit mereka.
Selain itu juga ada data dan fakta warisan Megawati yang juga jadi PR bagi SBY-JK, diantaranya jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,3 juta atau 17,4 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Karena itu, mampukan SBY-JK mewujudkan janji dan komitmen mereka, kita tunggu saja realisasinya.
Wahyudi Rachman
SUMBER: Banjarmasin Post, Minggu, 27 Februari 2005 02:05
Penulis : Rudy S Pontoh
Penerbit : Media Pressindo
Cetakan I : Desember 2004
Halaman : 178 halaman
BUKU ini bisa diibaratkan sebuah kamus acuan untuk mencari kebenaran dari perkataan yang pernah dikatakan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK).
Lebih tepatnya lagi sebagai indikator terbuktinya perkataan mereka sekaligus berhasil tidaknya mereka mewujudkan visi dan misi mereka selama masa kepemimpinannya.
Dari sekian banyak janji dan komitmen (jankomit) yang pernah diucapkan SBY-JK dalam buku ini, sebagian memang telah terbukti, namun tidak sedikit pula yang bertentangan dengan janji dan komitmen (jankomit) mereka, dan yang pasti mereka masih punya PR yang harus diwujudkan sebagai bukti dari ucapan mereka.
Diantaranya, dalam komposisi kabinet mereka memberi empat posisi menteri kepada wanita, ini terbukti. Memilih putra Papua untuk duduk dikabinet juga sesuai janji. Namun memilih menteri BUMN dari kalangan nonpartisan malah tidak terbukti.
Dalam kenyataan yang terpilih adalah seorang partisan salah satu parpol. Selanjutnya, masih ada ratusan jankomit lain menunggu bukti hingga lima tahun ke depan. Penulis bertanya, adakah kita mencatatnya?
Berbekal rasa penasaran plus keinginan untuk menagih atau lebih tepat menunggu janji, penulis menorehkan tinta dalam buku ini berdasar data yang penulis dapatkan dari pelacakan media untuk mendapatkan berita dan informasi apa saja yang berhubungan dengan SBY-JK.
Mulai dari Koran, majalah, radio, bulletin, televisi yang penulis anggap bonafit maupun penelusuran langsung. Dan yang membuat penulis tercengang, hasil pengumpulan data tersebut ternyata mencapat angka ribuan jankomit yang notabenenya utang yang harus dibayar presiden SBY dan wakil presiden JK.
Melalui buku ini, penulis tidak memaparkan semua jankomit, namun yang termuat bisa dikatakan mewakili jankomit lainnya. Maksudnya agar pembaca tidak terlalu banyak ‘makan’ janji.
Sebagai bumbu tambahan, dalam buku ini juga dilengkapi komentar dan opini dari mereka yang menunggu bukti jankomit.
Sementara itu sebagai indikator apakah SBY-JK memenuhi jankomit mereka, pada bagian lain buku ini, penulis menyertakan fakta dan data keadaan Indonesia saat ini, saat jankomit diucapkan.
Lima tahun mendatang bukalah kembali fakta dan data ini. Jika fakta dan data pada saat itu ternyata banyak yang berubah dari fakta dan data dalam buku ini, penulis bisa memastikan SBY-JK telah memenuhi janji-janji perubahan yang selalu mereka dengungkan. Namun, lihat pula arahnya, lebih baik atau sebaliknya?
Ada beberapa point yang diuraikan penulis dalam bukunya, hal ini berkaitan dengan fase perjalanan kepemimpinan SBY-JK yang membawa dirinya sampai ke kursi presiden dan wakil presiden. Sehingga pembaca dapat memahami jelas alur cerita buku ini.
Pada bagian satu, penulis coba memaparkan jankomit SBY-JK dari persiapan kampanye hingga usai pelantikan. Pada bagian kedua, diulas jankomit SBY-JK yang tersirat melalui visi dan misi mereka. Dibagian tiga, penulis membuka data dan angka yang bisa dijadikan sebagai indikator janji, dan dibagian terakhir, bagian keempat, penulis mencoba menceritakan komentar dari mereka yang menunggu realisasi janji.
Pada bagian pertama, ada 25 tema jankomit yang dijabarkan lagi dalam beberapa data dan fakta yang berhasil penulis kumpulkan. Sedang pada bagian dua, terdapat 21 jankomit yang semua dimbuhi awalan ‘me’, artinya sebuah isyarat akan melakukan sebuah pekerjaan.
Dari 25 tema jankomit di atas, contohnya saja dalam hal pemberantasan KKN, SBY pernah berkata dalam acara dialog,’visi dan strategi kebudayaan calon presiden 2004' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin 14 Juni 2004.
Dalam dialog itu SBY berucap, ‘Saya akan mengadakan kontrak politik dengan rakyat dalam menanggulangi pemberantasan korupsi. Satu rupiah pun uang negara harus dipertanggungjawabkan dan diaudit. Pemeriksaan harus transparan. Rakyat harus mengetahui apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan dan apa yang akan dilakukan ke depan’.
Hal lain adalah kepedulian terhadap rakyat. Saat SBY mengadakan silaturrahmi dengan sejumlah ulama dan cendikiawan muslim di Asrama Haji Masyhur, Medan, Jum’at 18 Juni 2004, ia pernah berkata akan memprioritaskan upaya penanggulangan masalah perekonomian bagi masyarakat kalangan bawah.
Ada juga masalah pendidikan, perlindungan dan pemberdayaan perempuan, ketenagakerjaan, keamanan dan pertahanan, pelayanan kesehatan, budaya dan seni, hubungan dan kerjasama Internasional, nelayan dan petani, kebebasan pers dan beberapa hal lain yang dianggap non kategori.
Salah satu poin yang ada dalam non kategori adalah kesiapan presiden untuk tinggal di istana, menurutnya dengan tinggal di istana, pengaturan kegiatan kepresidenan dari pagi hingga malam hari akan lebih mudah, juga memudahkan pengamanan, tamu-tamu mudah ditata, pengeluaran bisa dihemat, agar uangnya bisa diperuntukkan untuk perbaikan fasilitas.
Seperti yang terjadi pada sejarah kepemimpinan sebelumnya. Presiden RI yang pernah tinggal di istana kepresidenan Jakarta hanyalah dua orang.
Mereka adalah Presiden pertama RI, Soekarno dan presiden Abdurrahman Wahid. Sedang presiden Soeharto dan Habibie lebih memilih menetap dikediamannya saat menjabat presiden. Dan Megawati memilih tinggal dirumah dinas kepresidenan.
Pada bagian dua ada beberapa hal yang diuraikan penulis. Diantaranya adalah jankomit meningkatkan saling percaya, mencegah dan menanggulangi separatisme, menegakkan hukum dan ketertiban, mencegah terorisme, meningkatkan kemampuan pertahanan, dan memantapkan politik luar negeri.
Dalam bagian tiga mengenai data dan angka indikator janji, penulis coba memaparkan fakta yang terjadi saat ini.Misalnya, sejak tahun 2002 hingga 2004 ada 100 kasus korupsi yang diajukan kepengadilan. Tapi, jumlah pelaku yang dipenjara bisa dihitung dengan jari.
Data dan fakta ini bisa dijadikan indikator, jika memang ada perubahan melebihi angka 50 persen ke arah yang lebih baik, bisa diartikan SBY-JK telah memenuhi jankomit mereka.
Selain itu juga ada data dan fakta warisan Megawati yang juga jadi PR bagi SBY-JK, diantaranya jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,3 juta atau 17,4 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Karena itu, mampukan SBY-JK mewujudkan janji dan komitmen mereka, kita tunggu saja realisasinya.
Wahyudi Rachman
SUMBER: Banjarmasin Post, Minggu, 27 Februari 2005 02:05
Menunggu Bukti dari Seribu Janji (Resensi Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 1)
Judul : Janji-janji & Komitmen SBJ-JK Menabur Kata, Menanti Bukti
Penulis : Rudy S. Pontoh
Penerbit : Media Pressindo
Cetakan : Pertama Desember 2004
Tebal : xix+ 178 halaman
BEBERAPA hari ke depan, pemerintahan SBY-Kalla akan genap berusia 100 hari. Suatu patokan waktu yang banyak diperbincangakan para pengamat sebagai gambaran apakah lima tahun pemerintahan SBY akan seperti bagaimana tergantung pada batasan waktu 100 hari itu.
Sebuah buku dengan judul janji-janji dan komitmen SBY-JK, Menabur Kata menanti Bukti bisa menjadi panduan untuk masyarakat mengenai janji-janji dan komitmen dari SBY mulai dari saat kampanye pemilihan presiden lalu hingga saat pelantikan SBY menjadi Presiden Indonesia.
Ide penulis buku ini yakni Rudy S. Pontoh untuk mengarsip semua janji-janji dan komitmen SBY-JK patut diberi penghargaan. Penulis menyusuri hampir semua media massa baik elektronik ataupun cetak terkemuka di Indonesia . Dari hasil penelusuran itulah lahir buku ini.
Menurut penulis sendiri, dari janji-janji dan komitmen yang dilontarkan SBY-JK memang ada sebagian yang sudah direalisasikan termasuk di antara mengenai pengangkatan empat menteri perempuan dalam kabinet Indonesia Bersatu. Namun masih banyak janji dan komitmen tersebut yang harus ditunggu realisasinya.
Buku yang bisa dijadikan pedoman untuk lima tahun mendatang ini dibagi dalam empat bagian besar. Bagian pertama membeberkan janji dan komitmen SBY-JK selama masa persiapan kampanye Pemilihan Umum Presiden hingga pelantikan keduanya.
Pada bagian ini pembaca dapat mengetahui janji-janji dan komitmen SBY-JK berkenaan dengan hal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, perlindungan dan pemerdayaan perempuan, penegakan hukum hingga masalah kepemimpinan dan kebebasan pers.
Bagian kedua pembaca akan disuguhi janji dan komitmen SBY-JK seperti yang tersirat dalam misi dan visi pemerintahan keduanya. Pada bagian ini pembaca akan disuguhi bagaimana janji dan komitmen SBY-JK dengan pemerintahan yang bersih, pembenahan sistem dan politik hukum, menciptakan kesempatan kerja hingga janji dan komitmen yang berhubungan dengan revitalisasi pertanian dan pedesaan.
Pada bagian ketiga, penulis buku mencantumkan data dan angka sebagai indikator janji. Penulis buku menyebutkan dengan adanya data dan angka tersebut maka dengan mudah akan diketahui apakah suatu janji berhasil dipenuhi atau tidak. Tinggal membandingkan antara data dan angka lama dengan data dan angka terbaru pada pemerintahan SBY-JK.
Pada bagian keempat atau terakhir, penulis buku dengan sengaja menyebarkan angket kepada masyarakat mengenai bagaimana sikap mereka terhadap janji dan komitmen SBY-JK. Banyak yang percaya dan menaruh harapan dengan janji dan komitmen SBY-JK, tapi banyak juga yang bersikap pesimis bahwa janji dan komitmen tersebut bisa terpenuhi keduanya. Terlepas dari semua itu, buku ini dipandang perlu untuk dibaca untuk menjadi panduan menagih janji dan komitmen yang sempat terlontar oleh pasangan SBY-JK. Bukankah janji adalah hutang?***
Oleh NURAINI SAADAH
Penulis pembaca buku tinggal di Bandung
SUMBER: Pikiran Rakyat, Senin, 24 Januari 2005
Penulis : Rudy S. Pontoh
Penerbit : Media Pressindo
Cetakan : Pertama Desember 2004
Tebal : xix+ 178 halaman
BEBERAPA hari ke depan, pemerintahan SBY-Kalla akan genap berusia 100 hari. Suatu patokan waktu yang banyak diperbincangakan para pengamat sebagai gambaran apakah lima tahun pemerintahan SBY akan seperti bagaimana tergantung pada batasan waktu 100 hari itu.
Sebuah buku dengan judul janji-janji dan komitmen SBY-JK, Menabur Kata menanti Bukti bisa menjadi panduan untuk masyarakat mengenai janji-janji dan komitmen dari SBY mulai dari saat kampanye pemilihan presiden lalu hingga saat pelantikan SBY menjadi Presiden Indonesia.
Ide penulis buku ini yakni Rudy S. Pontoh untuk mengarsip semua janji-janji dan komitmen SBY-JK patut diberi penghargaan. Penulis menyusuri hampir semua media massa baik elektronik ataupun cetak terkemuka di Indonesia . Dari hasil penelusuran itulah lahir buku ini.
Menurut penulis sendiri, dari janji-janji dan komitmen yang dilontarkan SBY-JK memang ada sebagian yang sudah direalisasikan termasuk di antara mengenai pengangkatan empat menteri perempuan dalam kabinet Indonesia Bersatu. Namun masih banyak janji dan komitmen tersebut yang harus ditunggu realisasinya.
Buku yang bisa dijadikan pedoman untuk lima tahun mendatang ini dibagi dalam empat bagian besar. Bagian pertama membeberkan janji dan komitmen SBY-JK selama masa persiapan kampanye Pemilihan Umum Presiden hingga pelantikan keduanya.
Pada bagian ini pembaca dapat mengetahui janji-janji dan komitmen SBY-JK berkenaan dengan hal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, perlindungan dan pemerdayaan perempuan, penegakan hukum hingga masalah kepemimpinan dan kebebasan pers.
Bagian kedua pembaca akan disuguhi janji dan komitmen SBY-JK seperti yang tersirat dalam misi dan visi pemerintahan keduanya. Pada bagian ini pembaca akan disuguhi bagaimana janji dan komitmen SBY-JK dengan pemerintahan yang bersih, pembenahan sistem dan politik hukum, menciptakan kesempatan kerja hingga janji dan komitmen yang berhubungan dengan revitalisasi pertanian dan pedesaan.
Pada bagian ketiga, penulis buku mencantumkan data dan angka sebagai indikator janji. Penulis buku menyebutkan dengan adanya data dan angka tersebut maka dengan mudah akan diketahui apakah suatu janji berhasil dipenuhi atau tidak. Tinggal membandingkan antara data dan angka lama dengan data dan angka terbaru pada pemerintahan SBY-JK.
Pada bagian keempat atau terakhir, penulis buku dengan sengaja menyebarkan angket kepada masyarakat mengenai bagaimana sikap mereka terhadap janji dan komitmen SBY-JK. Banyak yang percaya dan menaruh harapan dengan janji dan komitmen SBY-JK, tapi banyak juga yang bersikap pesimis bahwa janji dan komitmen tersebut bisa terpenuhi keduanya. Terlepas dari semua itu, buku ini dipandang perlu untuk dibaca untuk menjadi panduan menagih janji dan komitmen yang sempat terlontar oleh pasangan SBY-JK. Bukankah janji adalah hutang?***
Oleh NURAINI SAADAH
Penulis pembaca buku tinggal di Bandung
SUMBER: Pikiran Rakyat, Senin, 24 Januari 2005
Senin, 07 Januari 2008
Dari Balik Penerbitan Buku Janji-Janji & Komitmen SBY-JK Edisi 1
Surat dari Penulis
Kisah Biru: Ada Apa, Sih? Kok, Semua Pada Nolak?
Waktu ditawarkan ke penerbit, banyak penerbit yang menolak. Saat menulis surat pembaca ke media cetak untuk mencari mitra penerbit, banyak media cetak bahkan takut memuat surat pembacanya. Setelah mengalami berbagai penolakan, buku itu akhirnya berhasil diterbitkan dan meledak di pasaran. Sekarang ia mencari mitra untuk mengadakan acara dialog buku tersebut dengan tema "Setelah 100 Hari Pemerintahan SBY-JK". Ada yang berani jadi penyelenggara? Lalu mengapa kisah ini disebutnya kisah biru? Berikut kisahnya:
Duhai, Best Seller!
Buku saya "Janji-janji dan Komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti" ternyata amat laris (dari laporan yang saya terima, buku tersebut menduduki peringkat pertama penjualan di hampir semua toko buku terkemuka di Indonesia. ceillehh...!). Padahal, keberadaan buku tersebut belum pernah diiklankan secara terbuka di media cetak, televisi, atau radio manapun. Juga belum pernah diadakan acara promosi semacam peluncuran buku atau sejenisnya sebagaimana buku-buku lainnya.
Karena penasaran, saya pun turun langsung ke lapangan untuk melakukan survei kecil-kecilan. Beberapa toko buku di Jakarta yang sempat saya kunjungi liburan kemarin (tentu saja saya nggak sempat mengunjungi semua toko buku) menempatkan buku tersebut di tempat yang paling diidam-idamkan oleh semua penulis buku "Best Seller". Bahkan di Gramedia Matraman Jakarta, toko buku terbesar di Indonesia, buku tesebut dengan gagahnya menduduki singgasana itu. Saya bilang singgasana, karena buku lokal yang bisa mendapat predikat itu di toko buku tersebut jumlahnya amatlah minim. Selain buku saya, ada juga buku fiksi berjudul Supernova, juga buku tentang tumbuhan yang bisa mengobati HIV (saya lupa judulnya), dan satu buku lokal lainnya (nggak ingat judulnya dan nggak sempat baca dalamnya). Yang banyak adalah buku-buku terjemahan (sekitar 10 judul).
Kok, Alergi?
Buat saya, predikat "best seller" amatlah luar biasa mengingat buku tersebut belum cukup dua minggu beredar. Saya jadi teringat saat-saat sebelum buku itu diterbitkan. Sebenarnya, sebelum selesai ditulis, sudah ada penerbit terkemuka yang bersedia menerbitkannya (buku saya lainnya diterbitkan oleh penerbit ini). Tapi begitu buku selesai ditulis dan melihat isinya, mereka jadi kehilangan nyali. Mereka tak menyangka saya bisa merekam semua janji SBY-JK dan fakta nyata dengan begitu lengkapnya. Lagipula selama ini kan belum pernah ada di Indonesia (bahkan di dunia) buku yang merekam dengan jelas janji-janji seorang politikus, apalagi seorang calon Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian terpilih.
Penerbit lain yang juga saya tawarkan (juga penerbit yang akan menerbitkan buku saya lainnya) tiba-tiba tampak seperti kehilangan nafsu. Mereka mengatakan "Oke" tapi dengan suara rendah dan ludah tertahan di tenggorokan. Bagi saya, ini artinya mereka setuju tapi dengan terpaksa dan tidak pasti kapan akan menerbitkannya. Saya malah jadi kasihan pada mereka.
Saya sendiri tak tahu mengapa orang-orang jadi pada alergi menerbitkan buku itu. Padahal berulang-ulang saya katakan, buku ini tak punya pretensi politik apapun. Saya bukanlah orang politik dan bukan orang partai apapun dan manapun. Apalagi sekarang kan kita hidup di alam demokrasi. Malah SBY-JK sendiri dalam berbagai forum berulang-ulang meminta agar mereka dikritik. Mengapa? Ya, supaya mereka tahu sudah sejauh mana mereka melangkah dan sudah sejauh mana mereka belum melangkah. Kok, kita semua jadi pada takut, jadi pada banci sih?
Buku ini bukanlah buku kritikan, tapi punya tujuan yang sama. Isinya adalah janji dilengkapi fakta dan data di Indonesia saat mereka mengucapkan janji. SBY-JK jika sempat membacanya pun saya yakin pasti senang. Dengan adanya buku ini mereka akan terbantu untuk mengingat apa-apa saja yang sudah mereka janjikan (soalnya, boss-boss kita kalau bikin janji kan biasanya suka lupa) dan apa aja yang tidak mereka janjikan. Jangan sampai mereka sudah bersusah payah memenuhi janji, rakyat malah menganggap mereka tidak memenuhi janji karena rakyat sendiri tidak memahami apa yang dijanjikan kepada mereka.
Berikut cuplikan obrolan saya dengan penerbit (yang berhubungan dengan kata hati penerbit adalah imajinasi saya):
"Emang enak kalau janji-janji dibukukan?" kata hati si penerbit.
"Kalau janji asmara dibukukan, emang nggak enak. Tapi kalau janji politik, enaklah,"jawab saya.
"Ya, nggak enak dong buat yang bikin janji. Kan bahaya! Apalagi kamu kan bukan dari partai politik yang sedang berkuasa," kata hati si pernerbit yang masih menggunakan cara berpikir jaman Orba.
"Ya, itu tergantung tujuan awal si pembuat janji," kata saya nggak mau kalah, "Kalau dari awal tujuannya adalah memenuhi janji, ya pasti enaklah. Tapi kalau tujuannya nggak memenuhi janji, ya nggak enaklah."
"Hmmm...enaknya di kamu, tapi bahaya di saya. Kalau buku proyek dari Bank Dunia saya mau deh. Enaknya di saya, dan ruginya di kamu dan rakyat. Hehehe..." timpal hati penerbit. Ia kemudian cuma diam dan hanya bisa mengangguk dengan tatapan kosong entah apa yang sedang dia pikirkan.
Wah, jadi kayak cerpen. Tapi selanjutnya, setelah itu saya berpikir untuk menerbitkannya sendiri. Kenapa tidak? Selama ini saya sudah menulis dan menerbitkan sendiri 41 (empat puluh satu) judul buku direktori bisnis, dan 3 judul buku musik (ini hobi sampingan saya). Dan semuanya laku dijual bahkan di pasar luar negeri. Tapi setelah saya instropeksi diri (ceilehhh..!), saya ternyata belum berpengalaman dalam menerbitkan buku untuk dikonsumsi masyarakat umum. Dengan kata lain, saya belum begitu menguasai jalur-jalur pemasaran di dalam negeri. Ya, mau tidak mau saya harus mencari penerbit lain.
Bejibun SMS & Telepon
Maka mulailah saya berjuang dengan mengirimkan penawaran melalui faks dan email ke berbagai penerbit. Dari 10 penerbit, hanya dua yang antusias dan bersedia langsung menerbitkannya dalam waktu dekat, tiga akan pikir-pikir dulu, sementara sisanya bahkan untuk menjawab saja nggak berani. Tapi saya belum langsung menjawab karena sebelumnya saya sudah terlanjur mengirim surat pembaca ke beberapa media cetak. Di sini juga saya tak habis pikir. Dari sembilan surat pembaca yang saya kirim untuk mencari mitra penerbit buku tersebut, hanya dua yang berani memuatnya. Yakni, Tabloid Kontan dan Harian Bisnis Indonesia, dua media yang menjadi favorit saya selama ini.
Begitu surat pembaca dimuat, saya menerima bejibun telepon dan SMS dari pembaca (maklum, dalam surat pembaca saya sertakan nomor hape saya). Semuanya berisi dukungan dan kesediaan untuk menerbitkan. Bahkan ada yang langsung berniat membeli hak cipta buku tersebut dengan angka berapa saja, tapi bukan untuk diterbitkan melainkan untuk dimusnahkan (hehehe...yang ini mungkin dari kelompok atau partai tertentu).
Hanya butuh dua hari, saya akhirnya berhasil memilih satu penerbit yang saya anggap track record-nya selama ini sangat baik. Yakni, Penerbit Media Pressindo Yogyakarta. Dan benar sesuai janji, hanya sekitar 2 minggu kemudian buku tersebut sudah beredar di pasaran. Sungguh luar biasa.
Nah, sekarang saya tantang Anda. Setelah buku tersebut sukses di pasaran, saya mencari siapa saja baik perorangan maupun kelompok atau organisasi yang bersedia atau lebih tepat yang "berani" untuk menjadi penyelenggara diskusi atau dialog mengenai buku tersebut, baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Tentu saja dengan menghadirkan pembicara terkenal di negeri ini. Temanya, terserah penyelenggara. Misalnya, "Evaluasi Janji SBY-JK Setelah 100 hari Pemerintahan" (barusan saya diminta nulis oleh Jurnal Madani PB HMI dengan tema sejenis) atau "janji di Sana, Janji di Sini. Akhirnya ditagih Sana Sini" (hehehehe...). Ada yang berani? Kalau ada, Anda bisa mengontak saya di email: rudypontoh@yahoo.com.
O,ya, kisah ini saya sebut kisah biru karena waktu menulisnya saya menggunakan kacamata dengan lensa biru penahan terik matahari. Huruf-huruf yang tampak semuanya jadi biru. Bener, deh. Kalau nggak percaya, coba deh buktikan. Kalau Anda membacanya sambil menggunakan kacamata berlensa ungu, Anda bisa merubah judulnya menjadi Kisah Ungu. Terserah...suka-suka Anda-lah ! Ini kan jamannya perubahan!
Salam,
Rudy S. Pontoh
Penulis Buku Janji-janji dan Komitmen SBY-JK
Kisah Biru: Ada Apa, Sih? Kok, Semua Pada Nolak?
Waktu ditawarkan ke penerbit, banyak penerbit yang menolak. Saat menulis surat pembaca ke media cetak untuk mencari mitra penerbit, banyak media cetak bahkan takut memuat surat pembacanya. Setelah mengalami berbagai penolakan, buku itu akhirnya berhasil diterbitkan dan meledak di pasaran. Sekarang ia mencari mitra untuk mengadakan acara dialog buku tersebut dengan tema "Setelah 100 Hari Pemerintahan SBY-JK". Ada yang berani jadi penyelenggara? Lalu mengapa kisah ini disebutnya kisah biru? Berikut kisahnya:
Duhai, Best Seller!
Buku saya "Janji-janji dan Komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti" ternyata amat laris (dari laporan yang saya terima, buku tersebut menduduki peringkat pertama penjualan di hampir semua toko buku terkemuka di Indonesia. ceillehh...!). Padahal, keberadaan buku tersebut belum pernah diiklankan secara terbuka di media cetak, televisi, atau radio manapun. Juga belum pernah diadakan acara promosi semacam peluncuran buku atau sejenisnya sebagaimana buku-buku lainnya.
Karena penasaran, saya pun turun langsung ke lapangan untuk melakukan survei kecil-kecilan. Beberapa toko buku di Jakarta yang sempat saya kunjungi liburan kemarin (tentu saja saya nggak sempat mengunjungi semua toko buku) menempatkan buku tersebut di tempat yang paling diidam-idamkan oleh semua penulis buku "Best Seller". Bahkan di Gramedia Matraman Jakarta, toko buku terbesar di Indonesia, buku tesebut dengan gagahnya menduduki singgasana itu. Saya bilang singgasana, karena buku lokal yang bisa mendapat predikat itu di toko buku tersebut jumlahnya amatlah minim. Selain buku saya, ada juga buku fiksi berjudul Supernova, juga buku tentang tumbuhan yang bisa mengobati HIV (saya lupa judulnya), dan satu buku lokal lainnya (nggak ingat judulnya dan nggak sempat baca dalamnya). Yang banyak adalah buku-buku terjemahan (sekitar 10 judul).
Kok, Alergi?
Buat saya, predikat "best seller" amatlah luar biasa mengingat buku tersebut belum cukup dua minggu beredar. Saya jadi teringat saat-saat sebelum buku itu diterbitkan. Sebenarnya, sebelum selesai ditulis, sudah ada penerbit terkemuka yang bersedia menerbitkannya (buku saya lainnya diterbitkan oleh penerbit ini). Tapi begitu buku selesai ditulis dan melihat isinya, mereka jadi kehilangan nyali. Mereka tak menyangka saya bisa merekam semua janji SBY-JK dan fakta nyata dengan begitu lengkapnya. Lagipula selama ini kan belum pernah ada di Indonesia (bahkan di dunia) buku yang merekam dengan jelas janji-janji seorang politikus, apalagi seorang calon Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian terpilih.
Penerbit lain yang juga saya tawarkan (juga penerbit yang akan menerbitkan buku saya lainnya) tiba-tiba tampak seperti kehilangan nafsu. Mereka mengatakan "Oke" tapi dengan suara rendah dan ludah tertahan di tenggorokan. Bagi saya, ini artinya mereka setuju tapi dengan terpaksa dan tidak pasti kapan akan menerbitkannya. Saya malah jadi kasihan pada mereka.
Saya sendiri tak tahu mengapa orang-orang jadi pada alergi menerbitkan buku itu. Padahal berulang-ulang saya katakan, buku ini tak punya pretensi politik apapun. Saya bukanlah orang politik dan bukan orang partai apapun dan manapun. Apalagi sekarang kan kita hidup di alam demokrasi. Malah SBY-JK sendiri dalam berbagai forum berulang-ulang meminta agar mereka dikritik. Mengapa? Ya, supaya mereka tahu sudah sejauh mana mereka melangkah dan sudah sejauh mana mereka belum melangkah. Kok, kita semua jadi pada takut, jadi pada banci sih?
Buku ini bukanlah buku kritikan, tapi punya tujuan yang sama. Isinya adalah janji dilengkapi fakta dan data di Indonesia saat mereka mengucapkan janji. SBY-JK jika sempat membacanya pun saya yakin pasti senang. Dengan adanya buku ini mereka akan terbantu untuk mengingat apa-apa saja yang sudah mereka janjikan (soalnya, boss-boss kita kalau bikin janji kan biasanya suka lupa) dan apa aja yang tidak mereka janjikan. Jangan sampai mereka sudah bersusah payah memenuhi janji, rakyat malah menganggap mereka tidak memenuhi janji karena rakyat sendiri tidak memahami apa yang dijanjikan kepada mereka.
Berikut cuplikan obrolan saya dengan penerbit (yang berhubungan dengan kata hati penerbit adalah imajinasi saya):
"Emang enak kalau janji-janji dibukukan?" kata hati si penerbit.
"Kalau janji asmara dibukukan, emang nggak enak. Tapi kalau janji politik, enaklah,"jawab saya.
"Ya, nggak enak dong buat yang bikin janji. Kan bahaya! Apalagi kamu kan bukan dari partai politik yang sedang berkuasa," kata hati si pernerbit yang masih menggunakan cara berpikir jaman Orba.
"Ya, itu tergantung tujuan awal si pembuat janji," kata saya nggak mau kalah, "Kalau dari awal tujuannya adalah memenuhi janji, ya pasti enaklah. Tapi kalau tujuannya nggak memenuhi janji, ya nggak enaklah."
"Hmmm...enaknya di kamu, tapi bahaya di saya. Kalau buku proyek dari Bank Dunia saya mau deh. Enaknya di saya, dan ruginya di kamu dan rakyat. Hehehe..." timpal hati penerbit. Ia kemudian cuma diam dan hanya bisa mengangguk dengan tatapan kosong entah apa yang sedang dia pikirkan.
Wah, jadi kayak cerpen. Tapi selanjutnya, setelah itu saya berpikir untuk menerbitkannya sendiri. Kenapa tidak? Selama ini saya sudah menulis dan menerbitkan sendiri 41 (empat puluh satu) judul buku direktori bisnis, dan 3 judul buku musik (ini hobi sampingan saya). Dan semuanya laku dijual bahkan di pasar luar negeri. Tapi setelah saya instropeksi diri (ceilehhh..!), saya ternyata belum berpengalaman dalam menerbitkan buku untuk dikonsumsi masyarakat umum. Dengan kata lain, saya belum begitu menguasai jalur-jalur pemasaran di dalam negeri. Ya, mau tidak mau saya harus mencari penerbit lain.
Bejibun SMS & Telepon
Maka mulailah saya berjuang dengan mengirimkan penawaran melalui faks dan email ke berbagai penerbit. Dari 10 penerbit, hanya dua yang antusias dan bersedia langsung menerbitkannya dalam waktu dekat, tiga akan pikir-pikir dulu, sementara sisanya bahkan untuk menjawab saja nggak berani. Tapi saya belum langsung menjawab karena sebelumnya saya sudah terlanjur mengirim surat pembaca ke beberapa media cetak. Di sini juga saya tak habis pikir. Dari sembilan surat pembaca yang saya kirim untuk mencari mitra penerbit buku tersebut, hanya dua yang berani memuatnya. Yakni, Tabloid Kontan dan Harian Bisnis Indonesia, dua media yang menjadi favorit saya selama ini.
Begitu surat pembaca dimuat, saya menerima bejibun telepon dan SMS dari pembaca (maklum, dalam surat pembaca saya sertakan nomor hape saya). Semuanya berisi dukungan dan kesediaan untuk menerbitkan. Bahkan ada yang langsung berniat membeli hak cipta buku tersebut dengan angka berapa saja, tapi bukan untuk diterbitkan melainkan untuk dimusnahkan (hehehe...yang ini mungkin dari kelompok atau partai tertentu).
Hanya butuh dua hari, saya akhirnya berhasil memilih satu penerbit yang saya anggap track record-nya selama ini sangat baik. Yakni, Penerbit Media Pressindo Yogyakarta. Dan benar sesuai janji, hanya sekitar 2 minggu kemudian buku tersebut sudah beredar di pasaran. Sungguh luar biasa.
Nah, sekarang saya tantang Anda. Setelah buku tersebut sukses di pasaran, saya mencari siapa saja baik perorangan maupun kelompok atau organisasi yang bersedia atau lebih tepat yang "berani" untuk menjadi penyelenggara diskusi atau dialog mengenai buku tersebut, baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Tentu saja dengan menghadirkan pembicara terkenal di negeri ini. Temanya, terserah penyelenggara. Misalnya, "Evaluasi Janji SBY-JK Setelah 100 hari Pemerintahan" (barusan saya diminta nulis oleh Jurnal Madani PB HMI dengan tema sejenis) atau "janji di Sana, Janji di Sini. Akhirnya ditagih Sana Sini" (hehehehe...). Ada yang berani? Kalau ada, Anda bisa mengontak saya di email: rudypontoh@yahoo.com.
O,ya, kisah ini saya sebut kisah biru karena waktu menulisnya saya menggunakan kacamata dengan lensa biru penahan terik matahari. Huruf-huruf yang tampak semuanya jadi biru. Bener, deh. Kalau nggak percaya, coba deh buktikan. Kalau Anda membacanya sambil menggunakan kacamata berlensa ungu, Anda bisa merubah judulnya menjadi Kisah Ungu. Terserah...suka-suka Anda-lah ! Ini kan jamannya perubahan!
Salam,
Rudy S. Pontoh
Penulis Buku Janji-janji dan Komitmen SBY-JK
Langganan:
Postingan (Atom)