Saya sendiri tidak tahu rinciannya janji-janji politik SBY-JK. Tetapi sebagai buruh pabrik di LG Electronics, saya tidak merasakan dampak peningkatan apapun kecuali hal-hal yang sejak presiden-presiden lalu pun memang sudah secara reguler dilakukan. Misalnya, kenaikan upah setiap tahun yang kisarannya jauh di bawah nilai inflasi.
Yang saya lihat malah kehidupan makin berat, pajak makin tinggi, kendaraan makin tak terbeli, bahan bakar dan listrik serta air makin mahal, pabrik-pabrik elektronik lain tutup atau pindah ke luar negeri. Saya jadi was-was jangan-jangan LG Electronics pindah juga ke Vietnam. Apalagi saat ini, secara berkala selalu ada pengurangan karyawan.
Soal keamanan jangan ditanya deh. Hanya dalam waktu sebulan saya dua kali harus mengelus dada karena barang-barang berharga dan uang disikat maling. Soal kesehatan juga luar biasa, seandainya tidak ada asuransi dari perusahaan (ini banyak dialami kawan-kawan yang dari “out sourcing”) rasanya setengah penghasilan harus disisihkan untuk berobat saya dan keluarga karena luar biasa mahalnya pelayanan kesehatan. Kalau setengah penghasilan disisihkan, artinya dalam sehari hanya boleh makan satu setengah kali, betapa “puasa”nya.
Bidang pendidikan sudah lumayan, lumayan bikin pusing tak karuan. Anak saya di SD Negeri, SPP sih memang gratis, tapi lain-lainnya….woooww..geleng-geleng kepala deh. Uang buku ratusan ribu, alat kebersihan, ekstra kurikuler, berenang, ini, itu, eta, itu…. Hiks..
Politik luar negeri…??? Hehehehe…. Saya sih lihat kenyataan jadi kacung di negeri sendiri, jadi jongos di luar negeri. Hampir semua barang produksi pemilik perusahaannya orang luar negeri, cari jarum made in Indonesia aja susahnya bukan main. Dikentutin Malaysia dan Singapura malah tertawa.. halaaah...
Pemberantasan korupsi..?? hehehe... buruh pabrik kaya saya taunya apa....?
Kalau mau berubah total, Indonesia ini harus dibalik dulu, kepulauannya jadi lautan, lautannya jadi daratan baru. Atau, musnahkan spesies manusia Endonesa dari tiga generasi, biarlah yang sekarang masih bayi dididik yang bener oleh peri gigi. (seramnya…)
Kalau 2009 masih orang-orang ini juga di jabatan publik…. saya tak tahu harus ngomong apa lagi.
Sopian
R & D – AV, LG Electronics Indonesia
Cikarang Barat, Bekasi 17520
Nonton Dulu Videonya !
Selasa, 08 Januari 2008
Mari Menakar (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Mencatat janji dan komitmen seorang pemimpin tentu saja banyak dilakukan orang. Sama halnya dengan menagih janji dan komitmen itu sendiri. Tetapi membukukannya secara tertulis mungkin hanya sedikit dari tidak banyak dilakukan orang. Salah satu di antaranya, dilakukan Rudy S Pontoh melalui bukunya Janji-janji dan Komitmen SBY-JK yang cetakan pertamanya dirilis Desember 2004.
Dokumentasi tertulis seperti buku ini sangat penting untuk memudahkan kita menakar keberhasilan seorang pemimpin menunaikan janjinya. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah menakar seberapa besar dan banyak janji sang pemimpin itu mampu dipenuhi. Cara ini, merupakan salah satu bentuk akses untuk menagih akuntabilitas seorang pemimpin ke depan.
Jika menilik isi buku Jankomit (Janji-janji dan Komitmen) SBY-JK, banyak sekali yang harus dibayar duet ini untuk mewujudkan janji-janjinya. Baru setahun memangku jabatan, SBY-JK memang dihadapkan kepada musibah yang luar biasa, yakni Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyita dan menumpahkan hampir seluruh perhatian republik. Musibah dan bencana demi bencana pun muncul seolah susul menyusul. Dari Aceh ke Yogya, hingga munculnya musibah lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Para pengeritik SBY-JK tetap menuntut jankomit mereka, walau ada kejadian luar biasa yang harus mereka beri perhatian. Saya mengibaratkan, kedua pemimpin ini melayarkan ‘’kapal republik’’ di tengah gempuran gelombang besar kiri kanan. Menjaga jangan sampai kapal mogok hingga ke tujuan. Meski keduanya harus mengganti beberapa kelasi yang dianggap bermasalah dan susah menyesuaikan irama pekerjaan sang nakoda.
Kita tidak menafikan bahwa selama memimpin bangsa ini, SBY-JK terkadang sering dibenturkan. Ada-ada saja pihak yang menilai keduanya tidak akur. Tidak kompak. Jalan sendiri. Seolah-olah keduanya mulai pasang kuda-kuda sendiri. Belum lagi, beberapa kelompok di luar organisasi pemerintahan sudah mulai melakukan manuver.
Tiga tahun sudah berlalu. Saatnya kita menagih dan menakar jankomit SBY-JK. Secara kasat mata, jankomit SBY-JK yang menguat menjadi wacana publik adalah pemberantasan korupsi. Saya tidak punya data resmi berapa banyak di antara kasus korupsi yang ada sudah tuntas di pengadilan. Tetapi ada geliat yang nyata untuk memberantas korupsi, koneksi, dan nepotisme (KKN). Buktinya adalah pemerintah membentuk beberapa institusi yang memberantas KKN. Saking banyaknya lembaga yang menangani korupsi ini ada kesan tugas dan wewenang lembaga tersebut tumpang tindih.
Bukti lain dalam penegakan hukum, Presiden SBY juga mengganti pejabat Jaksa Agung, beberapa menteri, dan pembantunya. Ini menunjukkan komitmen yang besar terhadap perbaikan roda pemerintahan, meski sulit menutup kesan adanya istilah ‘bongkar pasang’ kabinet yang berujung kepada kurangnya konsistensi dalam kesinambungan program menteri yang bersangkutan.
Saya kira, memasuki tahun keempat masa pemerintahannya, ada baiknya kita mulai menakar seberapa jauh jankomit kedua pemimpin bangsa mampu dipenuhi. Buku Bung Rudy dalam edisi kedua ini ada baiknya juga menakar sejumlah janji yang mampu dipenuhi SBY-JK, sehingga dapat menjadi acuan bagi publik untuk menagihnya.
M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas
Makassar
Dokumentasi tertulis seperti buku ini sangat penting untuk memudahkan kita menakar keberhasilan seorang pemimpin menunaikan janjinya. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah menakar seberapa besar dan banyak janji sang pemimpin itu mampu dipenuhi. Cara ini, merupakan salah satu bentuk akses untuk menagih akuntabilitas seorang pemimpin ke depan.
Jika menilik isi buku Jankomit (Janji-janji dan Komitmen) SBY-JK, banyak sekali yang harus dibayar duet ini untuk mewujudkan janji-janjinya. Baru setahun memangku jabatan, SBY-JK memang dihadapkan kepada musibah yang luar biasa, yakni Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyita dan menumpahkan hampir seluruh perhatian republik. Musibah dan bencana demi bencana pun muncul seolah susul menyusul. Dari Aceh ke Yogya, hingga munculnya musibah lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Para pengeritik SBY-JK tetap menuntut jankomit mereka, walau ada kejadian luar biasa yang harus mereka beri perhatian. Saya mengibaratkan, kedua pemimpin ini melayarkan ‘’kapal republik’’ di tengah gempuran gelombang besar kiri kanan. Menjaga jangan sampai kapal mogok hingga ke tujuan. Meski keduanya harus mengganti beberapa kelasi yang dianggap bermasalah dan susah menyesuaikan irama pekerjaan sang nakoda.
Kita tidak menafikan bahwa selama memimpin bangsa ini, SBY-JK terkadang sering dibenturkan. Ada-ada saja pihak yang menilai keduanya tidak akur. Tidak kompak. Jalan sendiri. Seolah-olah keduanya mulai pasang kuda-kuda sendiri. Belum lagi, beberapa kelompok di luar organisasi pemerintahan sudah mulai melakukan manuver.
Tiga tahun sudah berlalu. Saatnya kita menagih dan menakar jankomit SBY-JK. Secara kasat mata, jankomit SBY-JK yang menguat menjadi wacana publik adalah pemberantasan korupsi. Saya tidak punya data resmi berapa banyak di antara kasus korupsi yang ada sudah tuntas di pengadilan. Tetapi ada geliat yang nyata untuk memberantas korupsi, koneksi, dan nepotisme (KKN). Buktinya adalah pemerintah membentuk beberapa institusi yang memberantas KKN. Saking banyaknya lembaga yang menangani korupsi ini ada kesan tugas dan wewenang lembaga tersebut tumpang tindih.
Bukti lain dalam penegakan hukum, Presiden SBY juga mengganti pejabat Jaksa Agung, beberapa menteri, dan pembantunya. Ini menunjukkan komitmen yang besar terhadap perbaikan roda pemerintahan, meski sulit menutup kesan adanya istilah ‘bongkar pasang’ kabinet yang berujung kepada kurangnya konsistensi dalam kesinambungan program menteri yang bersangkutan.
Saya kira, memasuki tahun keempat masa pemerintahannya, ada baiknya kita mulai menakar seberapa jauh jankomit kedua pemimpin bangsa mampu dipenuhi. Buku Bung Rudy dalam edisi kedua ini ada baiknya juga menakar sejumlah janji yang mampu dipenuhi SBY-JK, sehingga dapat menjadi acuan bagi publik untuk menagihnya.
M.Dahlan Abubakar
Staf Pengajar Fakultas Sastra Unhas
Makassar
Perpustakaan, Kebudayaan, Komposisi Kabinet (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Janji SBY-JK mendorong anak didik untuk membaca dan memperkaya perpustakaan masih jauh dari harapan rakyat Indonesia. Meskipun UU Perpustakaan sudah disahkan, buktinya kondisi perpustakaan sekolah khususnya perpustakaan sekolah negeri dan perpustakaan umum di setiap daerah saat ini sangat mengenaskan. Padahal perpustakaan adalah pondasi dari pendidikan, meminjam kalimat dari sebuah iklan, Tanya Kenapa?
Komitmen SBY-JK untuk mengembangkan kebudayaan dianggap gagal, banyak hasil dan karya Indonesia dijiplak/diklaim oleh negara lain. Pemerintah Indonesia juga diangap gagal karena tidak dapat mengontrol budaya ketimuran, dalam hal ini masalah konten acara televisi yang kebanyakan merusak budaya ketimuran.
Ada beberapa kesalahan komposisi kabinet yang dilakukan SBY-JK, diantaranya pemilihan Prof. Dr. Meutia Farida Hatta-Swasono sebagai Meneg Pemberdayaan Perempuan bukannya sebagai Menteri Pariwisata & Kebudayaan. Disamping itu, terlalu eksklusif-nya Presiden Yudhoyono dalam hal humas kepresidenan dengan mempekerjakan dua jubir kepresidenan dan satu sekretaris kabinet.
Ardian Arda
Sekretaris Umum
DPD I HMPII (Himpunan Mahasiswa Perpustakaan & Informasi Indonesia)
Komitmen SBY-JK untuk mengembangkan kebudayaan dianggap gagal, banyak hasil dan karya Indonesia dijiplak/diklaim oleh negara lain. Pemerintah Indonesia juga diangap gagal karena tidak dapat mengontrol budaya ketimuran, dalam hal ini masalah konten acara televisi yang kebanyakan merusak budaya ketimuran.
Ada beberapa kesalahan komposisi kabinet yang dilakukan SBY-JK, diantaranya pemilihan Prof. Dr. Meutia Farida Hatta-Swasono sebagai Meneg Pemberdayaan Perempuan bukannya sebagai Menteri Pariwisata & Kebudayaan. Disamping itu, terlalu eksklusif-nya Presiden Yudhoyono dalam hal humas kepresidenan dengan mempekerjakan dua jubir kepresidenan dan satu sekretaris kabinet.
Ardian Arda
Sekretaris Umum
DPD I HMPII (Himpunan Mahasiswa Perpustakaan & Informasi Indonesia)
Narkoba dan Kejahatan Jalanan (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Buku ini memuat janji SBY-JK mengenai prioritas pemberantasan narkoba dan kejahatan jalanan. Janji tersebut sudah terlaksana dengan baik namun belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ada perbedaan antara hasil dan pandangan masyarakat. Data menunjukkan adanya kenaikan yang tinggi angka pengguna narkoba. Penyuplainya meningkat, narkoba jadi mudah diperoleh di mana-mana sementara masyarakat semakin “masabodo”.
Menurut saya, SBY-JK akan sulit memenuhi janji-janjinya memberantas penggunaan narkoba jika sebentar-sebentar pejabat yang menanganinya diganti. Sindikat narkoba umumnya menjadi kuat setelah beroperasi di atas 5 tahun dengan tingkat solidaritas dan kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggotanya. Sindikat semacam ini hanya bisa dilawan oleh organisasi yang juga solidaritas dan kepercayaan di antara sesama anggotanya sudah lebih dari 5 tahun. Jika sebentar-sebentar orang yang menanganinya diganti, pemberantasan pun akan tidak maksimal.
Mungkin ada baiknya juga bila BNN (Badan Narkotika Nasional) menjadi semacam LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) yang independen dan langsung di bawah Presiden, tidak dalam bayangan Polri atau departemen manapun, seperti KPK. Semoga apa yang saya sarankan ini bisa bermanfaat.
Dr. Anwar Wardy W, Sp.S, DFM
Badan Narkotika Nasional
Jakarta
Menurut saya, SBY-JK akan sulit memenuhi janji-janjinya memberantas penggunaan narkoba jika sebentar-sebentar pejabat yang menanganinya diganti. Sindikat narkoba umumnya menjadi kuat setelah beroperasi di atas 5 tahun dengan tingkat solidaritas dan kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggotanya. Sindikat semacam ini hanya bisa dilawan oleh organisasi yang juga solidaritas dan kepercayaan di antara sesama anggotanya sudah lebih dari 5 tahun. Jika sebentar-sebentar orang yang menanganinya diganti, pemberantasan pun akan tidak maksimal.
Mungkin ada baiknya juga bila BNN (Badan Narkotika Nasional) menjadi semacam LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) yang independen dan langsung di bawah Presiden, tidak dalam bayangan Polri atau departemen manapun, seperti KPK. Semoga apa yang saya sarankan ini bisa bermanfaat.
Dr. Anwar Wardy W, Sp.S, DFM
Badan Narkotika Nasional
Jakarta
Tidak Perlu Teramat Kecewa (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Di Indonesia, janji-janji kampanye politik sejatinya bukanlah komitmen yang bisa ditagih. Lebih banyak omong kosong untuk menarik simpati masyarakat. Bukankah kata-kata politisi itu sulit dipegang? Salah kalau rakyat terlalu mengingat janji-janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sejak awal saya melihat SBY ini berkarakter lembek. Tidak bisa tegas, selalu bimbang, bukan tipe get things done. Karena terlalu banyak perhitungan, keputusannya tidak bisa cepat dan tepat. Ingat bagaimana alotnya SBY bikin kabinet. Ingat bagaimana susahnya dia mengganti menteri.
Ingat kasus lumpur lapindo di Sidoarjo yang berlarut-larut, sehingga 20.000 orang kehilangan rumah dan tempat tinggal. Andai saja bulan September atau Oktober 2006 SBY dengan tegas menyatakan lumpur dibuang ke Kali Porong, maka bencana lumpur panas tidak sedahsyat sekarang.
SBY juga lemah di manajemen. Lihat saja di lumpur lapindo. Seharusnya menteri-menteri koordinator atau menteri senior bisa menuntaskan itu tanpa harus SBY berkantor di Lanudal Juanda, Sidoarjo, selama tiga hari. Tapi, sekali lagi, SBY ini tidak berani dengan Aburizal Bakrie, menko kesra, yang erat kaitannya dengan Lapindo Brantas Inc.
Lha, kalau setiap ada masalah presiden turun langsung, apa gunanya menteri-menteri yang banyak itu? Manajer kan mestinya hanya koordinasi saja, tidak perlu terlibat dalam urusan remeh-temeh. Payah manajemen SBY!
Tapi ini bisa dimaklumi karena secara politis SBY sangat lemah. Ia dikelilingi oleh menteri-menteri berlatar belakang politisi, yang nota bene, rivalnya.SBY tahu Partai Demokrat masih kecil sehingga dia perlu menjaga kelangsungan kekuasaannya dengan memelihara banyak menteri yang sebenarnya tidak kapabel.
Dari sini saja, siapa pun maklum mengapa SBY sulit sekali menunaikan janji-janji kampanye pada 2004. Kita, bangsa Indonesia, tidak perlu teramat kecewa karena politik di Indonesia masih dalam taraf segitu. Rakyat harus lebih kritis, tidak terpukau oleh trik-trik kampanye ala pesolek politik.
Lambertus L. Hurek
Redaksi Berita di Radar Surabaya
Sejak awal saya melihat SBY ini berkarakter lembek. Tidak bisa tegas, selalu bimbang, bukan tipe get things done. Karena terlalu banyak perhitungan, keputusannya tidak bisa cepat dan tepat. Ingat bagaimana alotnya SBY bikin kabinet. Ingat bagaimana susahnya dia mengganti menteri.
Ingat kasus lumpur lapindo di Sidoarjo yang berlarut-larut, sehingga 20.000 orang kehilangan rumah dan tempat tinggal. Andai saja bulan September atau Oktober 2006 SBY dengan tegas menyatakan lumpur dibuang ke Kali Porong, maka bencana lumpur panas tidak sedahsyat sekarang.
SBY juga lemah di manajemen. Lihat saja di lumpur lapindo. Seharusnya menteri-menteri koordinator atau menteri senior bisa menuntaskan itu tanpa harus SBY berkantor di Lanudal Juanda, Sidoarjo, selama tiga hari. Tapi, sekali lagi, SBY ini tidak berani dengan Aburizal Bakrie, menko kesra, yang erat kaitannya dengan Lapindo Brantas Inc.
Lha, kalau setiap ada masalah presiden turun langsung, apa gunanya menteri-menteri yang banyak itu? Manajer kan mestinya hanya koordinasi saja, tidak perlu terlibat dalam urusan remeh-temeh. Payah manajemen SBY!
Tapi ini bisa dimaklumi karena secara politis SBY sangat lemah. Ia dikelilingi oleh menteri-menteri berlatar belakang politisi, yang nota bene, rivalnya.SBY tahu Partai Demokrat masih kecil sehingga dia perlu menjaga kelangsungan kekuasaannya dengan memelihara banyak menteri yang sebenarnya tidak kapabel.
Dari sini saja, siapa pun maklum mengapa SBY sulit sekali menunaikan janji-janji kampanye pada 2004. Kita, bangsa Indonesia, tidak perlu teramat kecewa karena politik di Indonesia masih dalam taraf segitu. Rakyat harus lebih kritis, tidak terpukau oleh trik-trik kampanye ala pesolek politik.
Lambertus L. Hurek
Redaksi Berita di Radar Surabaya
Cambuk Bagi Penegak Hukum (Komentar Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 2)
Perang terhadap korupsi sudah dikumandangkan oleh SBY-JK. Secara kuantitas, penyelesaian tindak pidana korupsi semakin meningkat, penyelamatan uang negara semakin bertambah. Bagi warga masyarakat kinerja aparat penegak hukum mungkin dianggap masih memble. Tapi kita harus fair melihat kenyataan yang ada di lapangan bahwa janji-janji SBY-JK tidak hanya manis di bibir saja.
Kalau toh ada yang merasa kurang puas, itu menjadi semacam cambuk bagi penegak hukum untuk bekerja lebih baik lagi , atau bisa juga hanya konsekwensi politik untuk mengkritisi terhadap kinerja SBY-JK. Penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tidak semudah membalikkan tangan. Apalagi jika calon tersangkanya pejabat pemerintahan dimana kasusnya sudah terjadi beberapa tahun yang lewat, sehingga penegak hukum kesulitan dalam mencari alat bukti maupun barang bukti.
Semoga dengan akan munculnya rancangan KUHAP yang baru, akan semakin memudahkan penegak hukum dalam mencari alat bukti terhadap penyelesaian perkara tindak pidana korupsi .
Abd. Farid, SH
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Cikarang
Bekasi
Kalau toh ada yang merasa kurang puas, itu menjadi semacam cambuk bagi penegak hukum untuk bekerja lebih baik lagi , atau bisa juga hanya konsekwensi politik untuk mengkritisi terhadap kinerja SBY-JK. Penyelesaian kasus tindak pidana korupsi tidak semudah membalikkan tangan. Apalagi jika calon tersangkanya pejabat pemerintahan dimana kasusnya sudah terjadi beberapa tahun yang lewat, sehingga penegak hukum kesulitan dalam mencari alat bukti maupun barang bukti.
Semoga dengan akan munculnya rancangan KUHAP yang baru, akan semakin memudahkan penegak hukum dalam mencari alat bukti terhadap penyelesaian perkara tindak pidana korupsi .
Abd. Farid, SH
Jaksa pada Kejaksaan Negeri Cikarang
Bekasi
Janji dan Komitmen Sang Presiden (Resensi Pilihan Buku Janji2 & Komitmen SBY-JK edisi 1)
Judul: Janji-Janji & Komitmen SBY-JK, Menabur Kata Menanti Bukti
Penulis: Rudy S. Pontoh
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Tebal: xii + 178 halaman
Cetakan: I, Desember 2004
Selama masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla begitu banyak mengumbar janji dan komitmen kepada rakyat. Apa saja janji dan komitmen mereka dan sejauh mana realisasinya?
"Saya setuju jika janji-janji calon presiden dan calon wakil presiden dicatat, agar jika terpilih nanti, masyarakat bisa menagihnya." Demikianlah ucapan Jusuf Kalla saat berbicara di depan peserta Rakernas Badan Diklat Srondol Semarang, 17 Juni 2004.
Tampaknya ucapan itu menginspirasi Rudy S. Pontoh untuk menghimpun setiap kata-kata mengandung janji dan komitmen, oleh penulis buku ini disingkat dengan jankomit, yang pernah dilontarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) selama masa persiapan kampanye hingga usai pelantikannya sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Untuk keperluan pengumpulan jankomit itu, penulis melacak pemberitaan sejumlah media massa sepanjang kurun waktu Mei hingga Oktober 2004. Hasilnya? Ada ribuan jankomit yang dikemukakan duet calon presiden dan calon wakil presiden ini tatkala mempromosikan dirinya, baik secara berpasangan maupun terpisah.
Secara kuantitatif, hal itu tidak mengherankan. Bayangkan saja bila dalam setiap pertemuan yang mereka hadiri-yang acap kali dijadikan ajang kampanye-ada sekitar satu hingga tiga jankomit yang terlontar. Nah, untuk perhelatan akbar berskala nasional semacam ini, misalkan ada 1.000 kegiatan, tak ayal ada 1.000 hingga 3.000 jankomit yang keluar dari mulut mereka. Jadi sekali lagi, jumlah itu tidak mengejutkan.
Melontarkan janji dan komitmen sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam kampanye. Justru jika tidak ada gembar-gembor seperti itu, kampanye terasa kurang panas. Tidak heran jika jankomit menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di negeri ini.
Namun, zaman sudah berubah. Meski teknik pemberian jankomit belum berubah, setidaknya rakyat sebagai pendengarnya sudah. Mereka tidak mau berpangku tangan, sekedar berdiam diri menunggu realisasi janji.
Terobosan baru itu a.l. ditempuh penulis dengan cara merangkum semua jankomit ke dalam sebuah buku, sehingga siapa pun akhirnya bisa menyimak jankomit itu. Kealpaan manusia sebagai makhluk yang bisa dan cepat lupa, menjadi terbantu dengan kehadiran buku ini sebagai pengingat setia.
Secara cermat penulis pun memilah dan memilih ribuan jankomit itu untuk kemudian menggolongkannya ke dalam sejumlah kategori. Klasifikasi ini memudahkan pembaca dalam menemukan jankomit berdasarkan aspek permasalahan, dari soal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, penegakan hukum, budaya dan seni, kebebasan pers, bisnis dan usaha, hingga kabinet dan agenda kerjanya.
Penulis pun dengan rinci memberi catatan di bawah setiap jankomit. Catatan itu menerangkan siapa yang mengutarakan jankomit tersebut, pada forum apa, di mana dan kapan. Dengan begitu kita semua bisa mengkroscek apa-apa saja jankomit mereka dan bagaimana realisasinya di kemudian hari.
Penggolongan jankomit secara lisan yang dilakukan SBY dan JK selama kampanye bisa pembaca simak pada bagian pertama buku ini. Sedangkan jankomit yang termaktub dalam visi misi kepemimpinan terdapat pada bagian kedua.
Sementara untuk melihat signifikansi perubahan yang terjadi, membandingkan antara sebelum dan sesudah pasangan itu menjabat, penulis memuat sejumlah data dan angka sebagai indikator janji pada bagian ketiga. Pada bagian terakhir penulis memuat sejumlah harapan dan opini khalayak yang masuk lewat komunikasi di dunia maya.
Pemenuhan jankomit
Dalam 100 hari masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, bentukan SBY dan JK, sudah ada beberapa hal yang terpenuhi a.l. kuota empat orang menteri perempuan serta pelibatan putra Papua dalam kabinet. Namun, ada pula yang mengabaikan jankomit awal, di antaranya pengangkatan menteri BUMN yang partisan.
Padahal sebelumnya SBY berjanji akan mengisi jabatan Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Menteri BUMN dengan orang profesional nonpartisan. Alasannya kala itu "Agar tidak mengganggu kinerja mereka. Andai orang jujur pun mengisi jabatan itu, kalau dia partisan, dia akan dianggap memihak pada politik-politik tertentu."
Namun, apa mau dikata, SBY mengingkari ucapannya itu. Jabatan Menteri Negara BUMN justru diduduki wakil dari partai, alias partisan. Bukan itu saja, masih ada lagi tindakan SBY yang mencengangkan para pemilihnya. Di antaranya soal kebijakan menaikkan BBM dan menambah komitmen utang dengan mengatas namakan bencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Apakah janji tinggal janji belaka? Jikalau pemimpin tidak mendengarkan aspirasi rakyat, peranan rakyat untuk mengingatkan pemimpin yang melenceng tidak akan berjalan dengan baik. Hanya waktu yang bisa menjawab bagaimana janji itu terealisasi nantinya.
Kita cuma bisa berharap semoga jankomit SBY-JK itu bukan sekedar janji belaka. Bukankah janji adalah utang? Tetapi, jangan-jangan rakyat yang terlalu berlebihan mempercayai perkataan mereka sebagai janji. Pasalnya, SBY pernah bilang, "Kami tidak suka berjanji, apalagi berjanji tentang hal yang saya tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami tulis dan serahkan kepada KPU."
"Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami pikirkan secara matang, dan hanya seingat-ingatnya saja. Sesuatu yang semua kita tahu pasti tidak melahirkan manfaat, malah sebaliknya melahirkan ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan yang dapat membuat rakyat bingung, tetapi tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya."
Pudji Lestari
Kontributor Bisnis Indonesia
SUMBER : Bisnis Indonesia Minggu, 06-FEB-2005
Penulis: Rudy S. Pontoh
Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta
Tebal: xii + 178 halaman
Cetakan: I, Desember 2004
Selama masa kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla begitu banyak mengumbar janji dan komitmen kepada rakyat. Apa saja janji dan komitmen mereka dan sejauh mana realisasinya?
"Saya setuju jika janji-janji calon presiden dan calon wakil presiden dicatat, agar jika terpilih nanti, masyarakat bisa menagihnya." Demikianlah ucapan Jusuf Kalla saat berbicara di depan peserta Rakernas Badan Diklat Srondol Semarang, 17 Juni 2004.

Untuk keperluan pengumpulan jankomit itu, penulis melacak pemberitaan sejumlah media massa sepanjang kurun waktu Mei hingga Oktober 2004. Hasilnya? Ada ribuan jankomit yang dikemukakan duet calon presiden dan calon wakil presiden ini tatkala mempromosikan dirinya, baik secara berpasangan maupun terpisah.
Secara kuantitatif, hal itu tidak mengherankan. Bayangkan saja bila dalam setiap pertemuan yang mereka hadiri-yang acap kali dijadikan ajang kampanye-ada sekitar satu hingga tiga jankomit yang terlontar. Nah, untuk perhelatan akbar berskala nasional semacam ini, misalkan ada 1.000 kegiatan, tak ayal ada 1.000 hingga 3.000 jankomit yang keluar dari mulut mereka. Jadi sekali lagi, jumlah itu tidak mengejutkan.
Melontarkan janji dan komitmen sepertinya sudah menjadi hal biasa dalam kampanye. Justru jika tidak ada gembar-gembor seperti itu, kampanye terasa kurang panas. Tidak heran jika jankomit menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara sebanyak-banyaknya di negeri ini.
Namun, zaman sudah berubah. Meski teknik pemberian jankomit belum berubah, setidaknya rakyat sebagai pendengarnya sudah. Mereka tidak mau berpangku tangan, sekedar berdiam diri menunggu realisasi janji.
Terobosan baru itu a.l. ditempuh penulis dengan cara merangkum semua jankomit ke dalam sebuah buku, sehingga siapa pun akhirnya bisa menyimak jankomit itu. Kealpaan manusia sebagai makhluk yang bisa dan cepat lupa, menjadi terbantu dengan kehadiran buku ini sebagai pengingat setia.
Secara cermat penulis pun memilah dan memilih ribuan jankomit itu untuk kemudian menggolongkannya ke dalam sejumlah kategori. Klasifikasi ini memudahkan pembaca dalam menemukan jankomit berdasarkan aspek permasalahan, dari soal pemberantasan KKN, perbaikan pendidikan, penegakan hukum, budaya dan seni, kebebasan pers, bisnis dan usaha, hingga kabinet dan agenda kerjanya.
Penulis pun dengan rinci memberi catatan di bawah setiap jankomit. Catatan itu menerangkan siapa yang mengutarakan jankomit tersebut, pada forum apa, di mana dan kapan. Dengan begitu kita semua bisa mengkroscek apa-apa saja jankomit mereka dan bagaimana realisasinya di kemudian hari.
Penggolongan jankomit secara lisan yang dilakukan SBY dan JK selama kampanye bisa pembaca simak pada bagian pertama buku ini. Sedangkan jankomit yang termaktub dalam visi misi kepemimpinan terdapat pada bagian kedua.
Sementara untuk melihat signifikansi perubahan yang terjadi, membandingkan antara sebelum dan sesudah pasangan itu menjabat, penulis memuat sejumlah data dan angka sebagai indikator janji pada bagian ketiga. Pada bagian terakhir penulis memuat sejumlah harapan dan opini khalayak yang masuk lewat komunikasi di dunia maya.
Pemenuhan jankomit
Dalam 100 hari masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, bentukan SBY dan JK, sudah ada beberapa hal yang terpenuhi a.l. kuota empat orang menteri perempuan serta pelibatan putra Papua dalam kabinet. Namun, ada pula yang mengabaikan jankomit awal, di antaranya pengangkatan menteri BUMN yang partisan.
Padahal sebelumnya SBY berjanji akan mengisi jabatan Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Menteri BUMN dengan orang profesional nonpartisan. Alasannya kala itu "Agar tidak mengganggu kinerja mereka. Andai orang jujur pun mengisi jabatan itu, kalau dia partisan, dia akan dianggap memihak pada politik-politik tertentu."
Namun, apa mau dikata, SBY mengingkari ucapannya itu. Jabatan Menteri Negara BUMN justru diduduki wakil dari partai, alias partisan. Bukan itu saja, masih ada lagi tindakan SBY yang mencengangkan para pemilihnya. Di antaranya soal kebijakan menaikkan BBM dan menambah komitmen utang dengan mengatas namakan bencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Apakah janji tinggal janji belaka? Jikalau pemimpin tidak mendengarkan aspirasi rakyat, peranan rakyat untuk mengingatkan pemimpin yang melenceng tidak akan berjalan dengan baik. Hanya waktu yang bisa menjawab bagaimana janji itu terealisasi nantinya.
Kita cuma bisa berharap semoga jankomit SBY-JK itu bukan sekedar janji belaka. Bukankah janji adalah utang? Tetapi, jangan-jangan rakyat yang terlalu berlebihan mempercayai perkataan mereka sebagai janji. Pasalnya, SBY pernah bilang, "Kami tidak suka berjanji, apalagi berjanji tentang hal yang saya tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhinya. Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami tulis dan serahkan kepada KPU."
"Kami tidak mengkomunikasikan sesuatu yang tidak kami pikirkan secara matang, dan hanya seingat-ingatnya saja. Sesuatu yang semua kita tahu pasti tidak melahirkan manfaat, malah sebaliknya melahirkan ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan yang dapat membuat rakyat bingung, tetapi tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya."
Pudji Lestari
Kontributor Bisnis Indonesia
SUMBER : Bisnis Indonesia Minggu, 06-FEB-2005
Langganan:
Postingan (Atom)